Pada 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia, penandatanganan Perjanjian Helsinki menandai akhir konflik selama hampir tiga dekade antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perjanjian itu menjadi tonggak penting dalam upaya damai dan rekonsiliasi, menghapus batas paham masa lalu dan memperkuat persatuan Indonesia.
Ketua tim perunding pemerintah saat itu menyampaikan bahwa sejak hari itu, batas kedua pihak harus dihapuskan dan terlupakan. Ia berharap semua pihak hidup berdampingan dan saling mendukung dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, jejak-jejak masa lalu tetap memengaruhi dinamika hubungan kini, seperti kebijakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution memberhentikan kendaraan berplat Aceh saat melintas di wilayahnya. Kebijakan ini dinilai memupuk kembali konflik yang seharusnya sudah diselesaikan.
Baca juga: Kebijakan Pencabutan Paspor Pengaruhi Status Kewarganegaraan Buronan
Kontroversi penegakan aturan dan dampaknya
Kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap aturan hukum Indonesia. Menurut Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kewenangan penindakan pelanggaran lalu lintas ada di polisi lalu lintas, bukan gubernur.
Kendaraan bermotor, termasuk yang berplat Aceh, selama pemiliknya membayar pajak sesuai domisili, dapat beroperasi di seluruh wilayah NKRI. Kendaraan bergerak lintas daerah mengikuti aturan dan misi pemiliknya, tanpa terkecuali kendaraan dari Aceh yang keluar masuk Sumatera Utara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah juga menegaskan bahwa pajak kendaraan harus dibayar sesuai domisili, yakni kartu tanda penduduk (KTP) pemilik kendaraan.
Sebab, pemilik kendaraan dari Aceh wajib membayar pajak di Aceh, bukan di Sumatera Utara. Memaksa kendaraan berplat Aceh membayar di Sumut dianggap sebagai pelanggaran hukum, karena menyentuh hak kepemilikan dan kewenangan daerah.
Pengambilan kebijakan semacam ini dinilai dapat memperkeruh hubungan antardaerah dan menimbulkan rasa tidak harmonis. Kebijakan tersebut juga berpotensi menimbulkan rasa fanatisme daerah yang bisa mengancam persatuan bangsa.
Baca juga: Ratusan Warga Berebut Kupon Doorprize di Perayaan HUT TNI
Pengaruh masa lalu dan ketegangan yang belum usai
Selain melalui kebijakan tersebut, persoalan lain yang menyulut ketegangan adalah klaim kepemilikan empat pulau oleh Gubernur Bobby Nasution. Ia bahkan sempat menemui Gubernur Aceh Muzakkir Manaf di Banda Aceh untuk memperjuangkan klaim tersebut. Kejadian ini berlangsung beberapa bulan lalu.
Beruntung, Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan menghentikan langkah perjudian klaim tersebut agar tidak memicu ketegangan lebih jauh.
Meskipun secara normatif hukum, kebijakan tersebut belum tentu melanggar, secara politik dan sosial, tindakan itu memperlihatkan ketidaksiapan untuk menyatukan keberagaman dan memperkuat rasa persatuan Indonesia.
Ketegangan yang berlarut-larut dapat memicu luka mendalam dan rasa tidak percaya yang berakumulasi. Padahal, keberhasilan bangsa sangat bergantung pada harmonisasi dan saling pengertian antar daerah.
Aksi diskriminatif seperti penindakan kendaraan berplat Aceh akan menimbulkan kekhawatiran akan muncul kembali konflik lama dan memperlemah rasa kebangsaan.
Ini merupakan cermin bahwa jika tidak diatasi, konflik kecil dapat berkembang menjadi kekerasan yang lebih besar. Rasa sakit yang belum sembuh dari peristiwa masa lalu bisa menjadi sumber konflik baru yang lebih dalam.
Di samping itu, faktor ekonomi lintas daerah turut memperkuat hubungan saling bergantung. Truk dari Aceh yang mengangkut hasil bumi ke Sumatera Utara dan sebaliknya adalah contoh nyata saling manfaatkan yang mampu menjaga kestabilan ekonomi regional.
Pertanyaan mendasar pun muncul: "Apa yang sebenarnya ingin dicapai Gubernur?”
Pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, memiliki autoritas untuk menegur dan memberi sanksi terhadap kebijakan yang bertentangan dengan hukum dan aturan nasional.
Sebagai kepala daerah, gubernur memang memiliki otonomi, tetapi juga merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional. Keseimbangan dan pengawasan dari pusat sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan NKRI dan keadilan antar daerah.
Di tengah ketegangan ini, ada baiknya diingatkan kembali pesan dari penyanyi legendaris Christina Panjaitan: “Sudah kubilang. Jangan kau petik mawar yang penuh berduri. Jangan engkau dekati api yang membara. Jangan kau tertusuk nanti. Jangan kau terbakar nanti. Jangan kau bawa dirimu dalam mimpi,” sebagai pengingat akan pentingnya kebijaksanaan dalam bertindak dan menghormati keberagaman.
Tags: politik daerah kebijakan lalu lintas perjanjian Helsinki hubungan antardaerah hukum nasional