Di tengah dinamika bangsa yang terus berkembang, perhatian publik tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang pernah menjadi simbol harapan bangsa melawan tindak pidana korupsi.
Dibentuk dari keyakinan bahwa hukum dapat berdiri di atas kekuasaan dan korupsi harus dilawan lewat lembaga independen, KPK hadir sebagai harapan untuk menjaga integritas pemerintahan.
Namun, setelah lebih dari dua dekade beroperasi, muncul keragu-raguan besar apakah KPK masih mampu menjalankan mandat awalnya atau telah berubah menjadi panggung drama hukum semata.
Dalam praktiknya, KPK kerap dikenal melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang sering menarik perhatian publik. Meski demikian, keberhasilan lembaga ini dalam menuntaskan kasus besar terkadang dianggap minim, terutama terkait aktor utama yang terlibat.
Baca juga: Kunjungan Paus Fransiskus Cetak Sejarah di Indonesia
Pola OTT dan Pembatasan Pada Kasus Menengah
OTT tetap menjadi jurus utama, meskipun frekuensi dan intensitasnya menurun. Penangkapan-penangkapan terhadap pejabat tingkat menengah, seperti kepala dinas, bupati, dan wali kota, menjadi pemandangan umum. Sementara itu, penanganan kasus besar seperti mantan pejabat tinggi jarang berlanjut ke tahap penuntutan.
Contohnya, mantan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, pernah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima fee lima persen dari proyek pengadaan. Tuduhan serius ini kemudian menguap setelah dia memenangkan praperadilan, menghapus status tersangka dan menghilangkan proses penyidikan yang dilakukan KPK.
Kasus lainnya di Kalimantan Barat terkait Ria Norsan menunjukkan pola serupa. Penggeledahan dilakukan namun berakhir di status saksi tanpa konsekuensi lanjutan, memberikan kesan bahwa operasi tersebut lebih sebagai “prank” daripada upaya penegakan hukum yang nyata.
Pada kasus yang melibatkan pejabat di Jawa Barat, seperti Ridwan Kamil, penggeledahan rumah dan penyitaan barang mewah dilakukan, namun tersangka utama tetap tidak tersentuh, hanya menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih menargetkan kalangan tertentu daripada aktor utama.
Sementara itu, kasus terkait mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang melibatkan penyitaan uang dan barang mewah, tidak mengalami perkembangan selama tujuh bulan terakhir. KPK beralasan masih melakukan pendalaman bukti, sebuah alasan yang sering digunakan namun jarang berujung pada penindakan tegas.
Baca juga: Bahlil Lahadalia Ajak Kader Golkar Nikmati Proses Politik
Menurunnya Efektivitas dan Impor Kasus Besar
Kasus besar yang sempat mencuat, seperti soal kuota haji dan penggelapan dana, menunjukkan bahwa proses penegakan hukum kerap kandas sebelum mencapai tersangka utama. Barang bukti dan saksi telah dikumpulkan, tetapi aktor utama masih bebas dan masalah tetap tak terselesaikan.
Data kuantitatif mengungkap penurunan yang tajam sejak revisi UU KPK tahun 2019. Jika pada 2014-2019, jumlah OTT mencapai 87 kasus, setelah revisi, periode 2019-2024, jumlahnya hanya 31 kasus, turun sekitar 64 persen.
Penurunan ini berimbas pada efektivitas penanganan. Pada 2021, target penanganan kasus mencapai 120, namun yang berhasil diselesaikan sekitar 26,6 persen, menunjukkan kegagalan mencapai sebagian besar target.
Penelitian dari PUKAT UGM dan Transparency International Indonesia menunjukkan fungsi penyelidikan dan penuntutan menurun lebih dari 20 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa masalah utama bukan hanya kinerja teknis, tetapi juga lemahnya struktur kelembagaan yang semakin tidak independen.
Saling membalikkan keadaan melalui praperadilan, tersangka bisa lepas dan kasus berhenti di tengah jalan. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia masih berpihak pada mereka yang berkuasa.
Pada titik ini, KPK tampaknya kehilangan arah. Tidak lagi menakutkan bagi para koruptor, lembaga ini lebih sering menjadi tontonan tanpa hasil nyata. Kepercayaan masyarakat pun mulai pudar karena kasus besar terpendam dan tersangka berubah status menjadi saksi.
Sebagaimana data menunjukkan, sejak revisi UU pada 2019, jumlah OTT menurun drastis. Di masa lalu, di 2019, sebanyak 21 OTT tercatat, namun di tahun berikutnya dan seterusnya turun menjadi lima dan tujuh kasus per tahun.
Selain itu, capaian penanganan pun mengecewakan. Pada 2021, target 120 kasus, yang diselesaikan hanya sekitar 26,6 persen, atau sekitar 32 kasus. Banyak kasus yang berhenti di tengah jalan, dan kondisi ini memperlihatkan bahwa struktur kelembagaan KPK semakin tidak independen.
Hasil dari penelitian juga menunjukkan penurunan signifikan dalam fungsi penyelidikan dan penuntutan, yang berkonsekuensi pada kapasitas penindakan korupsi secara menyeluruh.
Praperadilan, yang seharusnya menjadi mekanisme pengawalan, justru sering membebaskan tersangka dan menghentikan kasus. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum kembali berpihak pada kekuasaan dan bukan keadilan.
Keadaan ini menyebabkan kepercayaan publik terhadap KPK terus menurun, dari lembaga yang dahulu disegani menjadi institusi yang tampil sebagai tontonan tanpa hasil konkret.
Setiap kali kasus besar mandek dan tersangka berubah status, publik semakin kehilangan kepercayaan dan menunggu langkah nyata dari penegak hukum.
Jika pola ini terus berlanjut, KPK akan dikenal hanya sebagai lembaga yang hidup dari sorak-sorai sesaat, namun tak mampu memastikan keadilan dan memberantas korupsi secara efektif.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan keberanian dan ketegasan dalam penegakannya. Tanpa independensi dan konsistensi, KPK hanya akan menjadi bayangan kejayaannya sendiri yang dulu pernah disegani.
Masyarakat sebenarnya menantikan keberanian menuntaskan kasus besar dan membuktikan bahwa hukum masih tegas di Indonesia. Tanpa tindakan nyata, kepercayaan publik akan terus memudar seiring waktu.
Tags: Korupsi KPK Kasus Korupsi Penegakan Hukum Revisi UU KPK