Di jalan raya yang berdebu dan persimpangan kota yang sibuk, sosok berseragam berdiri teguh. Ia seharusnya seperti lampu jalan—memberi penerangan, bukan menyorot tajam hingga mengaburkan pandangan. Namun, kenyataannya seringkali bayangan seragam tersebut justru menjadi pagar besi yang dingin, membatasi jarak antara rakyat dan negara.
Polisi adalah wajah negara yang paling dekat dengan masyarakat, namun seringkali justru menimbulkan ketegangan. Humanisme dalam penegakan hukum dan pelayanan publik yang humanis masih terasa jauh dari realitas lapangan, seperti cahaya remang di ujung lorong yang sulit dijangkau.
Sejarah bangsa Indonesia penuh luka-luka akibat ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan aparat. Luka itu tercermin dari gas air mata yang membaur di mata mahasiswa saat berunjuk rasa, peluru yang bersarang di tubuh orang yang hanya ingin menyuarakan pendapat, serta pungli kecil di kantor administrasi yang merusak harga diri rakyat.
Luka-luka tersebut tidak cuma sekadar luka fisik, tetapi juga luka psikologis dan ketidakpercayaan kepada aparat. Ketika kepercayaan itu terkoyak, menumbuhkannya kembali menjadi tantangan besar yang membutuhkan usaha serius dari semua pihak.
Polisi humanis berusaha menghadirkan keadilan yang tidak menambah luka, tetapi menutupnya dengan rasa keadilan dan empati. Kekuasaan aparat adalah pedang bermata dua, yang mampu melindungi sekaligus melukai. UU No. 2 Tahun 2002 memberi kewenangan besar kepada polisi: menyelidik, menangkap, dan menahan. Kewenangan tersebut, jika tidak dilandasi nurani, dapat menjadi sumber kekerasan yang dilegalkan.
Kekuasaan tanpa empati berpotensi menimbulkan bencana. Oleh karena itu, dibutuhkan polisi yang tahu kapan harus menggunakan kekuatan dan kapan harus menahan diri demi menjaga martabat manusia. Wajah polisi yang ramah dan manusiawi merupakan gambaran dari negara yang menghargai rakyatnya, bukan yang menakut-nakuti atau mengintimidasi.
Polisi humanis adalah wajah negara yang tersenyum, bukan yang meringis. Mereka adalah tangan yang menolong, bukan tangan yang menampar karena berbeda pandangan. Dengan demikian, rakyat akan merasa bahwa negara hadir dan peduli terhadap mereka, bukan sebagai pihak yang menakut-nakuti, melainkan sebagai pelindung.
Baca juga: Muktamar PPP 2025 Jadi Ajang Pemilihan Calon Ketua Umum
Simpang Jalan Reformasi Polri
Setelah 27 tahun reformasi, institusi Polri masih berada di persimpangan jalan. Meskipun proses pemisahan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1999 membuka pintu menuju perubahan, kultur lama yang keras dan otoriter belum sepenuhnya hilang. Kini, berbagai inisiatif reformasi digulirkan, seperti pembentukan Komite Reformasi Polri dan Tim Transformasi yang dipimpin oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa tidak sedikit reformasi yang hanya sebatas dokumen, tanpa perubahan mendalam di lapangan. Reformasi sejati memerlukan keberanian untuk mengganti wajah lama dengan wajah baru yang lebih humanis dan berintegritas. Integritas menjadi fondasi utama, karena tanpa itu, perubahan hanya akan menjadi show di permukaan.
Seringkali, polisi yang tidak berintegritas terjebak dalam transaksi dan korupsi, seperti membeli jabatan atau memperjualbelikan kasus. Pola hidup yang tidak sesuai dengan gaji menjadi salah satu penyebab utama keruntuhan kepercayaan masyarakat.
Polisi humanis adalah mereka yang menjaga jantung integritas tetap berdetak, menolak sogokan dan korupsi meski dalam keadaan sulit, memilih kejujuran di atas pangkat dan kekuasaan. Mereka menyadari bahwa seragam yang dikenakan adalah janji terhadap rakyat, bukan alat untuk memperkaya diri.
Interaksi langsung dengan rakyat menjadi landasan utama terbentuknya polisi humanis. Rakyat adalah cermin, dan aparat seharusnya mampu bercermin diri, bukan menolak melihat bayangan sendiri yang penuh kekurangan. Untuk mewujudkan polisi yang benar-benar humanis, perlu ada ruang partisipasi bagi masyarakat dan korban kejadian.
Keterbukaan dan transparansi adalah kunci, agar proses reformasi tidak menjadi ruang kosong yang terabaikan. Pendidikan di akademi kepolisian juga harus berfokus pada pengembangan empati dan kepekaan sosial, bukan hanya keahlian militer dan penggunaan senjata.
Sebagai lembaga penegak hukum, polisi harus memahami bahwa hukum adalah bahasa cinta negara kepada rakyatnya. Perubahan tidak datang tanpa risiko. Ada resistensi dari internal, tekanan politik, dan harapan masyarakat yang tinggi. Tetapi, tanpa keberanian menghadapi risiko tersebut, perubahan dan reformasi tidak akan pernah tercapai.
Kita semua mendambakan polisi yang humanis, yang bisa diakses dan dipercaya oleh rakyat. Wajah polisi seperti itu akan mengubah persepsi dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap negara. Harapan bahwa anak-anak akan melihat polisi sebagai teladan, bukan ancaman, harus terus dipupuk.
Humanisme dalam kepolisian bukan sekadar mimpi, tetapi sesuatu yang bisa diraih melalui keberanian menolak wajah lama dan memilih yang baru. Komite Reformasi Polri merupakan langkah awal, namun semangat utama adalah membangun kembali kepercayaan dan mengembalikan wajah negara yang ramah dan manusiawi.
Ketika polisi menjadi humanis, negara pun akan berwajah manusia dan rakyat akan merasa dekat, aman, serta dilindungi dalam naungan negara hukum yang adil.
Tags: Reformasi Polri Kepolisian Indonesia Keadilan Sosial Polisi Humanis Politik dan Keamanan