Ilustrasi komoditas ayam di pasar tradisional

Keterkaitan Harga Daging Ayam dan Program MBG di Indonesia

2 jam lalu | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Harga daging ayam naik dan memanas politiknya. Banyak yang menuding program MBG sebagai penyebab utama kenaikan. Analisis data menunjukkan sebaliknya. Kebutuhan daging ayam dari MBG kecil, sekitar 1,8 persen dari produksi nasional. Faktor ekonomi seperti harga pakan, terutama jagung, lebih berpengaruh besar. Harga ayam fluktuatif, dipengaruhi hari raya, pasokan, penyakit, dan logistik. Menyalahkan MBG tak adil, karena faktor struktural lebih kuat. Solusi inklusif dan perbaikan sistem diperlukan. Fokus pada kebijakan menyeluruh untuk ketahanan pangan berkelanjutan.

Harga daging ayam kembali mengalami kenaikan, memicu spekulasi politik dan perdebatan publik. Berbagai pihak menuding program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai penyebab utama kenaikan harga tersebut.

Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa klaim tersebut perlu dikaji ulang. Data dari Badan Pangan Nasional (NFA) mengungkapkan bahwa kebutuhan daging ayam dari MBG diperkirakan sekitar 70.000 ton pada tahun 2025, sementara proyeksi produksi nasional adalah sekitar 3,8 juta ton. Dengan begitu, serapan MBG hanya sekitar 1,8 persen dari total produksi nasional, sehingga kecil kemungkinannya sebagai faktor utama kenaikan harga ayam nasional.

Dari sudut pandang ekonomi peternak, biaya pakan menjadi faktor dominan. Komponen biaya terbesar dalam harga pokok produksi (HPP) ayam ras pedaging adalah biaya bahan baku pakan, terutama jagung dan bungkil kedelai. Kenaikan harga jagung secara signifikan berdampak besar terhadap biaya produksi peternak dan berkontribusi pada lonjakan harga daging ayam di pasaran.

Menyalahkan program MBG dan mengabaikan faktor lain seperti fluktuasi harga pakan adalah kesalahan logika. Seperti halnya harga kopi yang naik karena harga biji kopi dunia, kenaikan harga daging ayam juga dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi dan produksi yang kompleks.

Faktor fluktuasi harga daging ayam

Menurut teori ekonomi penawaran dan permintaan, harga daging ayam di Indonesia cenderung fluktuatif. Harga biasanya meningkat menjelang hari raya besar, turun saat pasokan melimpah, dan bisa melonjak kembali jika biaya logistik meningkat.

Faktor lain yang mempengaruhi harga termasuk penyakit pada unggas, biaya sarana produksi (sapronak), serta rantai distribusi yang panjang. Perubahan iklim dan siklus musiman juga turut memunculkan volatilitas harga ayam di pasaran.

Menyalahkan MBG secara tunggal atas kenaikan harga daging ayam dianggap mengabaikan faktor struktural yang lebih besar dan kompleks di sektor peternakan Indonesia.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Akhiri Praktik Multifungsi TNI

Solusi yang lebih inklusif

Memang, jika pengadaan MBG hanya memberikan manfaat bagi pedagang besar, maka pedagang kecil akan semakin sulit bersaing. Tapi, menghapus program ini bukan solusi tepat. Sebaliknya, program ini bisa diperbaiki dengan memperluas akses supply melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) kepada koperasi, usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan pasar lokal.

Desain yang inklusif dapat membantu menstabilkan permintaan di pasar, mengurangi volatilitas harga, dan memperkuat ekosistem pangan nasional secara berkelanjutan.

Baca juga: TNI Bagikan Puluhan Ribu Doorprize di Puncak HUT ke-80

Memahami ketahanan pangan secara menyeluruh

Dalam suasana politik yang sibuk, mudah sekali menjadikan MBG sebagai kambing hitam kenaikan harga ayam. Padahal, faktor biaya pakan, logistik, siklus musiman, dan perubahan iklim telah lama mempengaruhi harga ayam dalam jangka panjang.

Jika analisis publik berhenti pada narasi sederhana "MBG bikin harga naik", kita kehilangan peluang untuk memperbaiki ketahanan pangan Indonesia secara menyeluruh. Upaya perbaikan harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, tidak hanya fokus pada program tertentu saja.

Tags: pertanian kesejahteraan pangan ekonomi stabilisasi harga

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan