Komisi DPR Indonesia mulai membahas revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah menerima Surat Presiden yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Surat bernomor R62 tanggal 19 September 2025 tersebut disampaikan dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, pada Selasa (23/9/2025).
Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa revisi tersebut berkaitan dengan perubahan keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Setelah surat diterima, DPR menggelar serangkaian rapat kerja bersama pemerintah dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai pihak terkait, guna mengumpulkan masukan untuk penyusunan rancangan undang-undang tersebut.
Berbagai isu penting yang muncul dari pembahasan di parlemen menunjukkan sejumlah poin strategis dan krusial terkait struktur dan fungsi BUMN di Indonesia.
Perubahan Nomenklatur dan Fungsi Kementerian BUMN
Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah perubahan nomenklatur dari Kementerian BUMN menjadi Badan Penyelenggara BUMN. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa perubahan tersebut dipertimbangkan karena sebagian besar tugas dari Kementerian BUMN saat ini telah dialihkan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
“Dia sendiri tetap. Badan penyelenggara Badan Usaha Milik Negara (namanya). Badan penyelenggara BUMN,” ujar Dasco di Gedung DPR RI, Rabu (24/9/2025).
Dasco menambahkan, fungsi utama dari kementerian saat ini hanya tersisa sebagai regulator, pemegang saham seri A, dan pemberi persetujuan terkait Rencana Perusahaan dan Program (RPP). "Di situ fungsi dari BUMN kan itu sudah, kementerian BUMN kan itu sudah sebagian besar diambil oleh Danantara. Nah, sehingga tinggal fungsinya dari Kementerian BUMN itu adalah regulator pemegang saham seri A dan menyetujui RPP," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa pemerintah sedang mencari formulasi terbaik agar pengelolaan BUMN menjadi lebih efisien. “Fungsi operasionalnya kan sudah lebih banyak dikerjakan oleh BPI Danantara. Jadi ada kemungkinan kementeriannya mungkin mau kita turunkan statusnya menjadi badan,” kata Prasetyo.
Dia menambahkan, pembahasan revisi UU BUMN diupayakan rampung sebelum masa reses DPR berakhir, bahkan berharap dalam minggu ini selesai. "Ya kami berharap lebih cepat kalau bisa minggu ini selesai, minggu ini. Kalau bisa selesai sebelum reses, ya kami selesaikan," ujarnya.
Revisi untuk Mengakomodasi Putusan MK Terkait Ranggkap Jabatan
Revisi UU BUMN juga akan mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pejabat di BUMN sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini termasuk mengakomodasi putusan MK terkait larangan pejabat menteri dan wakil menteri menjadi komisaris BUMN.
“Yang pertama itu revisi Undang-undang BUMN itu adalah karena mau mengakomodir atau memasukkan beberapa putusan MK terkait dengan BUMN. Yang terakhir itu adalah putusan MK tentang wakil menteri yang hanya boleh menjabat sebagai komisaris paling lama 2 tahun lagi. Itu dimasukkan,” jelas Dasco.
Gedung Kementerian BUMN
MK melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 menegaskan larangan rangkap jabatan tersebut, namun memberikan tenggang waktu dua tahun agar pemerintah dapat menyesuaikan aturan tersebut. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa masa transisi tersebut diperlukan agar tidak terjadi kekosongan hukum. “Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan larangan rangkap jabatan wakil menteri tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan, waktu dua tahun cukup untuk pemerintah melakukan penataan ulang struktur jabatan di BUMN dan penggantian pejabat yang merangkap jabatan, dengan orang yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam mengelola perusahaan negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Prabowo dan PM Kanada Bahas Kerja Sama Penguatan Hubungan Bilateral
Larangan Rangkap Jabatan di Tingkat Eselon I dan II
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, mengusulkan agar larangan rangkap jabatan tidak hanya berlaku bagi menteri dan wakil menteri, tetapi juga pejabat eselon I dan II di kementerian maupun lembaga. “Putusan MK itu memutuskan tidak boleh rangkap jabatan menteri atau wakil menteri di BUMN baik sebagai komisaris apalagi sebagai direksi. Nah, apakah di dalam undang-undang ini kemudian kita bisa membuat aturan bahwa para dirjen, deputi, eselon I dan II juga tidak boleh rangkap jabatan? Karena indikasi konflik kepentingan pasti terjadi,” ungkapnya.
Ia memberi contoh, terdapat 39 komisaris BUMN yang berasal dari pejabat Kementerian Keuangan. Menurutnya, keberadaan pejabat tersebut menimbulkan potensi konflik kepentingan karena mereka juga terlibat dalam pengelolaan dana negara yang digunakan dalam penugasan BUMN, seperti pengadaan menara BTS di wilayah tertinggal yang merupakan proyek dari PT Telkom.
“Contoh pada kasus Telkom yang akhirnya menjadi kasus pengadaan BTS atau penugasan negara untuk daerah tertinggal itu ya. Itu kan sebetulnya mau dibilang ‘kami tidak tahu’ begitu, yang enggak mungkin juga tidak tahu. Orang komisaris di situ dan itu adalah uang penugasan,” tutur Rieke.
Baca juga: Presiden Prabowo Bertemu Gubernur Jenderal Kanada di Ottawa
Penguatan Sistem Akuntabilitas dan Penegakan Hukum
Selain isu rangkap jabatan, revisi UU BUMN juga diharapkan dapat memperkuat sistem akuntabilitas pejabat BUMN. Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Aimah Nurul Anam, menyatakan bahwa pejabat BUMN harus dapat diproses secara hukum apabila terbukti melakukan korupsi.
“Di RUU ini kami minta dipastikan pasal itu dimasukkan kembali agar RUU BUMN yang melakukan bancakan-bankakan terhadap uang negara ini dapat diproses secara hukum, bisa dilakukan penegakan oleh BPK dan KPK ke depan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat merasa resah dengan maraknya kasus korupsi di BUMN, seperti yang terjadi di Pertamina dan PT Timah. Para pejabat yang terlibat korupsi harus bisa diproses secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
“Yang menjadi keresahan di masyarakat yang pertama adalah soal, kita lihat hari ini banyak terjadi korupsi secara massif di BUMN, misalnya saja Pertamina, Timah, dan banyak lagi,” ujarnya. Ia juga menyoroti bahwa dalam revisi UU sebelumnya, pejabat BUMN tidak dianggap sebagai bagian dari penyelenggara negara sehingga tidak bisa diaudit BPK maupun diproses KPK, dan hal ini akan diubah dalam revisi terbaru agar sistem pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih ketat.
Tags: Revisi UU BUMN BUMN DPR Indonesia Perubahan Regulasi Korupsi BUMN