Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kaisar Kiasa Kasih Said Putra dalam sebuah kesempatan.

Pemerintah Tempatkan Rp 200 Triliun di Bank Himbara, Apa Dampaknya?

26 Sep 2025 | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Kebijakan pemerintah tempatkan Rp 200 triliun di bank Himbara dinilai sah secara hukum. Tapi, efektivitas ekonomi perlu diuji melalui lapangan. Data menunjukkan kredit menganggur masih tinggi, dan risiko uang menganggur perlu diwaspadai. Untuk menguatkan sektor riil, perlu langkah nyata seperti penguatan kredit UMKM dan insentif modal kerja. Kebijakan ini harus diarahkan tepat agar dana bermanfaat dan tidak menjadi uang tidur.

Anggota Komisi XI DPR RI, Kaisar Kiasa Kasih Said Putra, menyoroti kebijakan pemerintah yang menempatkan dana sebesar Rp 200 triliun dari saldo kas negara ke bank-bank BUMN (Himbara) yang direncanakan berlangsung pada 12 September 2025.

Menurutnya, langkah tersebut secara hukum adalah sah. Dasar hukumnya mengacu pada UU Keuangan Negara (UU 17/2003) dan UU Perbendaharaan Negara (UU 1/2004), di mana Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk mengelola kas negara, termasuk menempatkan dana di bank umum sementara. Penegasan ini pun diperkuat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 147/2021 dan PMK 44/2024 yang mengatur pengelolaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

“Selama penempatan dana itu mudah dicairkan, minim risiko, transparan, serta masih tercatat di Rekening Kas Umum Negara (RKUN), maka secara hukum langkah ini sah,” ujar Kaisar melalui siaran persnya, Jumat (26/9/2025).

Ia menjelaskan bahwa dana tersebut tidak termasuk dalam belanja negara, sehingga berbeda dengan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membutuhkan persetujuan DPR.

Dipahami sebagai Strategi Pengelolaan Likuiditas

Memaparkan lebih jauh, Kaisar menyebut pemindahan saldo dari Bank Indonesia ke Himbara merupakan bagian dari strategi prudent cash management pemerintah. Ia menjelaskan, kebijakan ini bertujuan menjaga likuiditas perbankan, mengoptimalkan kas yang belum terserap, dan meningkatkan penerimaan negara melalui bunga (PNBP).

Kaisar pun mengatakan bahwa dana yang disalurkan diharapkan bisa langsung memacu kredit produktif di sektor riil. Harapannya, manfaat dari kebijakan ini akan dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah.

Namun, anggota DPR tersebut mengingatkan bahwa efektivitas dari penempatan dana Rp 200 triliun di bank Himbara perlu diuji melalui realitas di lapangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2025 menunjukkan masih ada kredit menganggur sebesar Rp 2.304 triliun, meski sudah disetujui bank tetapi belum dicairkan ke debitur.

“Artinya, masalah utama bukan pada ketersediaan likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit akibat dunia usaha yang lesu dan daya beli masyarakat yang rendah,” tuturnya.

Baca juga: PSI Umumkan Pengurus Baru Periode 2025-2030 di Jakarta

Risiko Uang Menganggur dan Beban Fiskal

Kaisar menilai menambah likuiditas Rp 200 triliun tanpa strategi konkret meningkatkan risiko uang menganggur. Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan beban ganda karena bank harus menanggung kredit menganggur dan pemerintah harus membayar bunga yang lebih tinggi dibanding bunga deposito dari penempatan dana tersebut.

“Pertama, bank tetap menanggung kredit menganggur yang tidak terserap. Kedua, pemerintah harus membayar bunga lebih tinggi dibanding bunga deposito dari penempatan dana tersebut. Pada akhirnya, ini berpotensi menjadi beban fiskal yang ditanggung rakyat melalui APBN,” ujarnya.

Baca juga: Ahmad Ali Pindah ke PSI, Sebut Partai Masa Depan

Usulan Solusi untuk Penguatan Sektor Riil

Kaisar menilai solusi yang tepat bukan sekadar penambahan dana di bank, melainkan memperkuat penyaluran kredit ke sektor riil. Ia mengusulkan empat langkah utama yang perlu dilakukan:

1. Penguatan Kredit UMKM

Pertumbuhan kredit UMKM masih lambat, hanya sekitar 1,8–2,6 persen secara tahunan. Risiko kredit (NPL) mencapai 4,36 persen. “Padahal, UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah perlu memperkuat manajemen risiko dan memperluas pembinaan kredit, terutama untuk segmen mikro dan menengah yang mengalami kontraksi,” ujarnya.

2. Stimulus Kredit Modal Kerja

Kredit modal kerja hanya tumbuh 4,45 persen secara tahunan. Banyak sektor padat karya sulit memperoleh modal, padahal ini krusial untuk meningkatkan produktivitas industri. Ia menambahkan, pemerintah perlu menyiapkan insentif, relaksasi suku bunga, dan dukungan pembiayaan jangka pendek agar roda produksi dapat berputar kembali.

3. Relaksasi Kredit di Sektor Perdagangan dan Konstruksi

Kedua sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, tetapi kredit yang disalurkan masih terbatas. Ia menyatakan, tanpa dukungan kredit memadai, geliat perdagangan dan proyek konstruksi akan terhambat. “Kebijakan fiskal dan moneter harus diarahkan untuk memudahkan akses kredit, subsidi bunga, serta pengurangan biaya administrasi,” tuturnya.

4. Dukungan Kredit untuk Sektor Pertanian dan Padat Karya

Sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan perkebunan meminimalkan kredit, padahal mereka menyerap sekitar 28,64 persen tenaga kerja nasional atau sekitar 40,72 juta orang. Kaisar menilai, perluasan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan penjaminan risiko yang lebih kuat, pengembangan instrumen mikro, serta program khusus bagi sektor padat karya adalah langkah yang tepat agar pembiayaan meningkat signifikan.

Kaisar menegaskan bahwa keempat langkah ini krusial agar likuiditas tidak hanya berhenti di neraca bank. Ia menuturkan bahwa kolaborasi aktif antara perbankan, pelaku usaha, dan regulator dapat memastikan dana mengalir ke sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan konsumsi masyarakat, dan memperkuat daya beli.

Selain itu, secara hukum, penempatan dana tersebut dapat dibenarkan. Namun, dari aspek ekonomi, efektivitasnya harus dipertanyakan. Tanpa strategi yang menyasar sektor riil, dana Rp 200 triliun bisa berakhir sebagai uang tidur di bank. Jika tidak ada dampak nyata dalam waktu dekat, kebijakan ini perlu dievaluasi dan diikuti langkah alternatif agar tidak terjadi pemborosan fiskal dan risiko penumpukan kredit bermasalah (NPL) jangka panjang.

Dalam pandangannya, keberhasilan kebijakan ini tergantung pada implementasi dan pengawasan yang tepat. Sementara itu, Komisi XI DPR RI akan terus memantau perkembangan kebijakan tersebut dan memastikan langkah-langkah ke depan sesuai dengan tujuan ekonomi nasional.

Tags: Dana negara Bank Himbara Likuiditas Kredit UMKM Sektor riil Kebijakan fiskal

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan