Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan permohonan pengembalian aset milik Rina Lauwy, mantan istri dari mantan Direktur Utama PT Taspen Antonius NS Kosasih, yang sebelumnya disita dalam kasus korupsi investasi ilegal.
Permohonan tersebut disampaikan melalui replik JPU, yang mencakup pengembalian apartemen beserta sertifikatnya. "Perihal permohonan pengembalian sertifikat rusun nomor 200397xxx, Apartemen Belleza Unit 21 vs 5, sikap penuntut umum telah mengajukan tuntutan atas barang bukti tersebut, yaitu barang bukti nomor 736 yang dikembalikan kepada Rina Lauwy Kosasih," ujar salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Rina Lauwy sebelumnya telah mengirimkan surat kepada JPU, tertanggal 18 September 2025, yang memohon agar sertifikat rusun nomor 0397/20K Apartemen Belleza dikembalikan. Ia juga meminta agar sertifikat hak milik satu unit apartemen atas nama ayahnya, Haryanto Lauwy, tidak diblokir.
Baca juga: Amnesty Desak Polri Bebaskan Aktivis dan Ungkap Kebenaran
Permohonan Pengembalian Sertifikat dan Blokir Hak Milik
JPU menjelaskan bahwa sejak awal, sertifikat atas nama Haryanto Lauwy tidak termasuk dalam daftar barang bukti terkait kasus tersebut. "(Sertifikat) atas nama Haryanto Lauwy tidak terdapat dalam daftar barang bukti sehingga atas permohonan tersebut, penuntut umum bersikap tidak akan mengajukan tuntutan atas barang bukti yang dimaksud," terang jaksa.
Sementara itu, dalam dakwaan, Kosasih yang merupakan terdakwa kasus korupsi, dituntut hukuman penjara selama sepuluh tahun dan denda sebesar Rp 500 juta, subsider enam bulan penjara. Ia diduga menerima uang sebesar Rp 34,3 miliar dan memiliki kewajiban membayar uang pengganti mencapai Rp 29,15 miliar, serta sejumlah aset lain termasuk dollar AS, euro, yen Jepang, dan valuta asing lainnya. Jika tidak membayar, jaksa menuntut tambahan hukuman tiga tahun penjara.
Selain itu, Ekiawan Heri Primaryanto, Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), juga diancam hukuman penjara selama 9 tahun 4 bulan, denda Rp 500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti lebih dari Rp 253 juta. Kedua terdakwa dinilai merugikan keuangan negara sebanyak Rp 1 triliun dari kegiatan investasi ilegal.
Kasus ini termasuk dalam tindak pidana korupsi berdasarkan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta KUHP.
Tags: Korupsi pengadilan Jakarta aset