Mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari rangkaian upaya besar untuk menjatuhkan Presiden pertama RI, Sukarno. Pernyataannya disampaikan saat peluncuran dan bedah buku trilogi novel "Refleksi 60 Tahun G30S" di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Dalam sambutannya, Yusron menyatakan, "Singkat kata, saya ingin mengatakan bahwa ya, G30 itu adalah sebuah apa namanya, episode kecil untuk satu tujuan yang lebih besar, yaitu penggulingan Bung Karno itu sendiri." Ia tidak menjelaskan secara rinci alasan di balik pernyataannya tersebut, namun mengajak masyarakat untuk membaca ketiga novel hasil karyanya yang telah diluncurkan, yakni: 1. "Irian Barat: Bayang-Bayang Intrik Global di Balik Misteri Pembunuhan Kennedy," 2. "Nyanyian Bisu dalam Orkestra Bayang-Bayang," dan 3. "Nyanyian Bangsa Cacing: Dalam Orkestra Dusta."
Yusron menegaskan bahwa novel yang ditulisnya didasarkan pada riset sejarah yang mendalam dan tidak sekadar karya fiksi. Ia menyebutkan banyak tokoh yang tercatat dalam karya tersebut. "Saya memang menulis novel ini, tetapi saya tidak menulis novel dengan berkhayal-khayal saja. Melainkan saya menulis novel berdasarkan riset, atas data," ujarnya.
Salah satu bagian dalam buku menyinggung kaitan antara peristiwa G30S dan pembunuhan Presiden AS John F. Kennedy pada 1963. Menurut Yusron, keduanya merupakan bagian dari rencana besar terkait dinamika Perang Dingin.
Tangkapan layar potret MH Lukman (kiri), DN Aidit (tengah), dan Njoto (kanan) pada 1962 dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara.
Baca juga: Dugaan Kebocoran Rp 5 Triliun dalam Pengadaan Haji Indonesia
Peran PKI dan dampak G30S Menurut Yusron
Yusron juga menyoroti posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa tersebut. Ia berpendapat, PKI bukan aktor utama, melainkan korban dari G30S. "PKI sebenarnya hanya merupakan korban dari G-30 S itu. Saya tidak mengatakan PKI tidak salah, Pak Aidit tidak terlibat. Terlibat, tapi bukan beliau tokoh utamanya," ungkapnya.
Yusron menambahkan, korban sesungguhnya bukan hanya enam jenderal yang tewas, tetapi juga ratusan ribu orang yang dipenjara, diasingkan, bahkan dibunuh selama pasca 1965. Ia menyatakan bahwa dampak G30S masih terasa hingga era Orde Baru, yang berlangsung lebih dari tiga dekade.
Seiring tumbangnya rezim Orde Baru, Yusron menyebut narasi sejarah terkait G30S menjadi lebih terbuka. Bahkan, dalam kurikulum sejarah SMA tahun 2022, terdapat tujuh versi mengenai peristiwa tersebut. "Sebelum itu, dari 1965 sampai 1998, kita mengikuti sejarah versi resmi pemerintah. Namun setelah reformasi, kita bisa berbicara lebih bebas. Dalam buku sejarah SMA tahun 2022 disebutkan ada 7 versi G-30 S itu," ungkapnya.