Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kelima kanan) didampingi para Wakil Ketua MK mendengarkan keterangan dari Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Jilid 2 Marulam Juniasi Hutauruk (kiri) dalam sidang uji materiil UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pemohon.

Diskriminasi Beasiswa LPDP dalam Uji Materi UU Kesehatan

1 jam lalu | Alisha Putri | Berita | Berita Nasional

Sidang uji materi UU Kesehatan membahas diskriminasi beasiswa LPDP antara program berbasis rumah sakit dan kampus. Pihak pemerintah menjelaskan bahwa beasiswa sudah ada sebelum UU disahkan. Hakim MK minta penjelasan agar tidak terjadi diskriminasi. Kebijakan LPDP dinilai berbeda untuk pendidikan spesialis, menimbulkan perdebatan. Perkara uji materi terkait kolegium dan organisasi profesi sedang berlangsung, lebih panjang dari biasanya.

Dalam sidang uji materi undang-undang kesehatan yang berlangsung pada Selasa, isu diskriminasi terkait pemberian beasiswa LPDP kepada mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menjadi perhatian utama. Ketidakkonsistenan pembiayaan antara program berbasis rumah sakit dan kampus menjadi sorotan, menimbulkan pertanyaan dari hakim MK tentang perlakuan yang berbeda tersebut.

Awalnya, pernyataan dari Ketua Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Wisnu Barlianto, menyampaikan fakta bahwa pembiayaan PPDS berbasis rumah sakit mendapatkan pendanaan dari LPDP, sementara yang berbasis kampus tidak selalu mendapatkan beasiswa. Wisnu menegaskan, "Pada faktanya sebenarnya kedua-duanya tetap berbayar, hanya yang hospital based itu mendapatkan pendanaan dari LPDP, itu fakta yang ada di lapangan, sehingga akhirnya mereka tidak bayar karena dapat beasiswa, sedangkan university based memang ada yang mendapatkan beasiswa, ada yang tidak."

Merespons kenyataan tersebut, AIPKI mengusulkan agar seluruh mahasiswa PPDS dari basis kampus dapat menerima beasiswa secara penuh. Usulan ini memicu ketertarikan hakim MK, Saldi Isra, yang meminta penjelasan dari pemerintah mengenai alasan berbeda dalam pembiayaan LPDP antara program berbasis rumah sakit dan kampus.

Saldi Isra menegaskan, "Nanti tolong Pemerintah dijelaskan, ya. Karena basis argumentasi kenapa LPDP itu diberikan kepada yang berbasis di rumah sakit, padahal kan hak warga negara sama, Pak. Jadi, jangan didiskriminasi juga."

Hakim menilai kebijakan tersebut dapat memunculkan diskriminasi jika tidak diperhatikan secara seksama. Ia juga menyatakan keprihatinan, "Itu kalau memang dipraktikkan seperti itu, Pak, sebaiknya itu ditinjau ulang, kalau memang seperti itu."

Pihak pemerintah diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, menjelaskan bahwa beasiswa LPDP untuk PPDS sudah ada sebelum UU Kesehatan yang baru disahkan. Ia menyebutkan, "Hampir 4.000 dokter spesialis untuk basis universitas diberikan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi, sedangkan 11.000 untuk jalur basis rumah sakit dari Kementerian Kesehatan."

Kunta juga menjelaskan bahwa perbedaan jalur disebabkan oleh fakta bahwa 98 persen pendidikan spesialis dilakukan di rumah sakit. Ia menyatakan, "Kalau yang university based itu memang beasiswa larinya ke hospital, sehingga kami bisa meningkatkan sarana-prasarana dan juga pelatihan-pelatihan di sana (rumah sakit). Jadi kami tidak ada yang memblok, tidak ada."

Baca juga: Gempur Jaringan Pemasok Senjata ke KKB di Puncak Jaya

Perkara Uji Materi UU Kesehatan dan Konflik Organisasi Profesi

Sebagai informasi, saat ini terdapat tiga perkara uji materi UU Kesehatan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Ketiga perkara tersebut adalah perkara 156/PUU-XXII/2024, 111/PUU-XXII/2024, dan 182/PUU-XXII/2024.

Perkara-perkara tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang dinilai mengambil alih independensi kolegium, serta konflik antara organisasi profesi kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Kementerian Kesehatan terkait keberadaan organisasi tunggal profesi dokter. Mahkamah menegaskan bahwa sidang ketiga perkara tersebut telah berlangsung delapan kali, lebih panjang dari biasanya.

Dalam proses sidang, para saksi dan ahli dari pembentuk undang-undang dan pemohon telah memberikan keterangan, termasuk perwakilan dari Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, dan Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran Gigi.

Tags: MK Diskriminasi UU Kesehatan beasiswa Pendidikan dokter

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan