Ruang publik sempat ramai membicarakan sebuah kalimat sederhana yang menyimpan makna mendalam: “Yang saya jilat menang dan berkuasa.” Kalimat tersebut muncul dari cuitan pejabat publik dan dianggap sebagai cermin dari kondisi kekuasaan saat ini. Pernyataan itu mencerminkan kenyataan bahwa di praktik sehari-hari, kedekatan dengan penguasa seringkali menjadi faktor yang menentukan dalam meraih posisi.
Di tengah dinamika politik, loyalitas personal lebih dihargai dibandingkan kemampuan atau integritas. Jabatan publik, yang idealnya menjadi ruang pelayanan masyarakat, kini lebih dikenali sebagai hadiah atas kesetiaan dan hubungan tertentu. Akibatnya, praktik politik berfokus pada posisi dan kekuasaan daripada terhadap gagasan dan nilai-nilai keadilan.
Krisis Etika dalam Politik
Penggunaan istilah yang menunjukkan kedekatan dan kepentingan pribadi semakin dianggap normal dan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Praktik semacam ini menimbulkan luka dalam kepercayaan publik dan mengikis harapan akan politik yang bersih dan berprinsip. Dalam masyarakat yang sehat, jabatan publik harus dipandang sebagai amanah dan ruang untuk mengabdi, bukan sebagai simbol kemenangan jaringan atau kekuatan kelompok tertentu.
Ketika politik bergeser menjadi arena untuk menampilkan kekuasaan dan keberhasilan relasi personal, makna sejati dari ruang publik menghilang. Politik ideal seharusnya menjadi tempat untuk mempertanyakan kekuasaan dan menguji wacana, bukan sebagai tempat transaksi dan praktik oportunis yang merusak.
Pengaruh Kekuasaan yang Tidak Bertanggung Jawab
Dalam sistem yang menormalisasi praktik “menjilat,” kekuasaan dijalankan tanpa tanggung jawab yang jelas. Jabatan dianggap sebagai hadiah, bukan amanah, dan politik kehilangan makna perjuangan bersama. Ruang politik pun dipenuhi narasi yang membenarkan praktik korup dan oportunisme, sehingga menyebabkan krisis moral dan kehilangan simbolisme perjuangan nilai.
Situasi ini menyebabkan politik kehilangan daya simboliknya sebagai ruang perjuangan dan bertransformasi menjadi arena transaksi. Ketika kekuasaan tidak lagi dijalankan demi rakyat dan hanya memperkuat posisi pribadi tanpa rasa malu, rem moral pun hilang dan kekuasaan melaju tanpa arah dan etika.
Baca juga: Evakuasi Korban Runtuhnya Musala Ponpes Al Khoziny Ditindaklanjuti
Peran Masyarakat dalam Membentuk Perubahan
Meski wajah politik saat ini menunjukkan kelelahan dan keputusasaan, harapan untuk perubahan tetap ada. Perubahan tidak otomatis datang dari atas, melainkan dari bawah melalui cara berbicara, memilih, dan menolak praktik merusak. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut agar jabatan publik diisi oleh orang yang kompeten dan layak, serta mengembalikan fungsi politik sebagai ruang nilai dan prinsip.
Bahasa politik harus dibersihkan dari kata-kata yang merusak, seperti “menjilat,” yang seharusnya tidak menjadi norma. Politisi dan pemimpin harus berani menjaga makna sebenarnya dari jabatan dan kekuasaan. Politik bukan soal siapa yang paling dekat atau siapa yang paling keras memuji, tetapi tentang keberanian menjaga nilai dan integritas dalam menjalankan tugasnya.
Baca juga: Prabowo Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila
Hentikan Praktik Transaksional, Kembalikan Makna Politik
Kalimat “yang saya jilat menang dan berkuasa” mungkin akan terus diingat, tetapi sebaiknya menjadi momentum untuk bertanya. Apakah praktik ini sesuai dengan prinsip politik yang sehat dan bermartabat? Jika jawabannya tidak, maka masyarakat harus mulai membangun ulang sistem dan budaya politik dengan kesadaran dan keberanian.
Etika bukan barang mewah; etika adalah fondasi utama dalam berpolitik. Tanpa etika, politik hanya menjadi sandiwara yang tak berujung, di mana rakyat yang dirugikan dan mereka yang sudah tahu cara bermain mendapatkan tawa paling keras di panggung kepalsuan.
Tags: politik Kepercayaan Publik Etika Kekuasaan transaksional nilai