Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko saat ditemui usai upacara peringatan HUT ke-79 Bhayangkara di Monas, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Polisi Kembali Ke Pemiliknya, 39 Buku Disita dalam Kasus Kerusuhan

1 jam lalu | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Polri mengembalikan 39 buku yang disita terkait kerusuhan setelah evaluasi. Buku-buku tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana. Pengembalian ini merupakan bagian dari proses hukum yang sesuai pasal KUHAP. Langkah ini menunjukkan profesionalisme dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pengamat kepolisian menyebut aparat kurang memahami literasi ideologi. Kritik muncul karena buku yang disita justru meningkatkan minat baca masyarakat terhadap ideologi tersebut. Kasus serupa juga terjadi di Jawa Barat dengan buku yang memuat teori anarkisme. Buku-buku dari dalam dan luar negeri ini menjadi bahan referensi kelompok tertentu. Polri berkomitmen menjalankan proses hukum secara transparan dan akuntabel.

Sejumlah 39 buku yang sebelumnya disita oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur akhirnya dikembalikan kepada pemiliknya. Buku-buku tersebut sempat dianggap memiliki kaitan dengan kasus kerusuhan di Surabaya dan Sidoarjo. Judul-judul yang disita menunjukkan kecenderungan terhadap literatur berisi pemikiran kiri dan gerakan sosial, termasuk karya-karya terkenal seperti "Apa Itu Anarkisme Komunis?" karya Alexander Berkman dan "Strategi Perang Gerilya" karya Che Guevara. Selain itu, terdapat juga karya Franz Magnis-Suseno tentang pemikiran Karl Marx dan buku "Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan" karya Emma Goldman.

Pengembalian Buku sebagai Bentuk Penghormatan Hukum

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divhumas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, menyampaikan bahwa pengembalian buku dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia. Ia menegaskan, "Polri memastikan setiap langkah penyidikan dilakukan secara objektif, profesional, dan proporsional." Ia menjelaskan, setelah evaluasi mendalam, penyidik menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana yang disidik.

Menurut Trunoyudo, pengembalian buku merupakan implementasi Pasal 46 Ayat (1) huruf a KUHAP, yang menyatakan bahwa barang sitaan yang tidak terkait langsung dengan tindak pidana harus dikembalikan ke pemiliknya. "Keputusan ini mencerminkan profesionalisme penyidik dalam menjamin hak-hak para pihak selama proses hukum berlangsung," katanya. Ia menambahkan, langkah ini juga bagian dari usaha memastikan hak pemilik barang dan menunjukkan transparansi proses hukum yang berjalan.

Proses Penyidikan dan Dasar Hukum

Penyelidikan awal terhadap buku-buku tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP dan Pasal 39 Ayat (1) huruf d KUHAP. Pasal 184 menyebutkan bahwa "Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa." Sedangkan Pasal 39 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa "Yang dapat dikenakan penyitaan benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana." Trunoyudo menegaskan bahwa meskipun penyitaan merupakan bagian dari proses hukum, setelah analisis lebih lanjut, polisi memastikan buku tersebut tidak relevan dengan tindak pidana dan oleh karena itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Barang bukti itu telah dikembalikan secara lengkap kepada para pemilik atau keluarganya per 29 September 2025. Langkah ini menjadi cerminan komitmen Polri dalam menegakkan proses hukum secara transparan dan bertanggung jawab, serta menghindari penyitaan barang yang tidak berhubungan langsung dengan tindak pidana.

Baca juga: Ilham Habibie Serahkan Uang Rp1,3 M dari Kasus Mobil Antik

Kritik dan Tantangan dalam Penanganan Kasus Buku

Meski proses pengembalian telah dilakukan, langkah penyitaan buku menuai kritik dari pengamat kepolisian. Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies menilai bahwa aparat kurang memahami literasi ideologi. "Tidak ada yang salah pada orang yang membaca. Belajar ataupun berpikir juga bukan tindak pidana. Bahkan, kalau mau belajar, polisi harus tahu bahwa anarkisme juga bukan tindak pidana," ujarnya. Ia menekankan bahwa kekerasan yang merusak merupakan tindak pidana, bukan paham ideologi tertentu yang bersifat abstrak seperti anarkisme.

Menurut Bambang, paham anarkisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Ia mengingatkan gerakan non-kekerasan seperti Mahatma Gandhi di India dan Sedulur Sikep di Blora juga merupakan bentuk perlawanan yang berbeda dari narasi kriminal. Ia menambahkan, langkah penyitaan justru dapat memicu rasa ingin tahu masyarakat terhadap buku-buku tersebut dan memperkuat minat belajar mereka terhadap ideologi yang tertuang di dalamnya. Ia juga menyarankan agar pendidikan kepolisian memperkuat wawasan literasi untuk memahami berbagai paham ideologi dan filsafat, sehingga polisi mampu menilai dengan tepat konten yang berkaitan dengan tindakan pidana.

Baca juga: Gempa Magnitudo 6,0 Guncang Sumenep, Berpotensi Merusak Bangunan

Kasus Serupa di Jawa Barat

Kasus serupa terjadi di Jawa Barat, di mana Polda Jabar sempat memublikasikan sejumlah buku sebagai barang bukti dalam kerusuhan demonstrasi di Bandung, Selasa 16 September 2025. Buku-buku tersebut diduga memuat teori anarkisme yang menjadi referensi kelompok yang diselidiki di Gedung DPRD Jawa Barat. Beberapa judul yang ditampilkan antara lain "Menuju Estetika Anarkis," "Why I Am Anarchist," "Sastra dan Anarkisme," hingga karya Pramoedya Ananta Toer berjudul "Anak Semua Bangsa." Buku-buku ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dibeli secara daring dari luar negeri, menunjukkan betapa literatur tersebut digunakan sebagai referensi ideologis oleh kelompok tertentu.

Tags: Hukum Polisi Kerusuhan Literasi Kasus Buku

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan