Anggota Komisi VIII DPR RI, Aprozi Alam, mengingatkan Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) untuk berhati-hati saat menerapkan rencana penyetaraan masa tunggu jemaah haji di seluruh provinsi Indonesia menjadi sekitar 26-27 tahun. Aprozi menyatakan bahwa kebijakan ini memiliki tujuan mulia untuk menciptakan keadilan bagi seluruh calon jemaah haji, namun penerapannya tidak mudah dan berpotensi menimbulkan persoalan baru.
“Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ‘kejutan’ dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jemaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama,” ujar Aprozi dalam keterangan tertulis, Rabu (1/10/2025).
Dia menambahkan bahwa provinsi dengan masa tunggu lebih pendek, seperti 10-15 tahun, bisa mengalami dampak signifikan akibat lonjakan waktu tunggu menjadi 26-27 tahun. Kebijakan ini diperkirakan dapat menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jemaah di daerah tersebut yang sudah merencanakan keberangkatan berdasarkan estimasi lama tunggu sebelumnya. Pemerintah diharapkan menyusun strategi komunikasi publik yang efektif untuk menjelaskan kebijakan ini.
Baca juga: Isu Karyawan Keluarga dan Kasus Keracunan Program MBG
Manfaat dan Tantangan Kebijakan
Menurut Aprozi, kebijakan ini justru akan menguntungkan provinsi dengan antrean panjang seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, karena akan mempercepat proses keberangkatan mereka. “Jadi kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jemaah di daerah dengan antrean panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang,” jelasnya.
Namun demikian, dia menekankan bahwa kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran, pembinaan, dan pelayanan harus dipastikan memadai. Integrasi data tunggal jemaah haji di seluruh provinsi juga menjadi kunci agar proses perpindahan antrean berjalan lancar dan transparan. “Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data,” tambahnya.
Seiring dengan itu, Komisi VIII DPR mendesak pemerintah melakukan penilaian dampak secara menyeluruh dan membuka dialog dengan pemerintah daerah serta DPRD terkait kebijakan ini. Aprozi menyatakan bahwa meskipun ini merupakan terobosan berani, semua pihak harus memastikan bahwa jalan menuju keadilan tidak menimbulkan luka baru.
Baca juga: Ombudsman Temukan 8 Kendala Program Makan Bergizi Gratis
Usulan dan Perubahan Kebijakan
Sebelumnya, Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf mengusulkan penyetaraan masa antrean haji di seluruh provinsi menjadi 26,4 tahun. Usulan ini disampaikan saat rapat bersama Komisi VIII DPR RI pada Selasa (30/9/2025).
Irfan menjelaskan bahwa mekanisme tersebut berbeda dari sistem sebelumnya yang memberi kuota berdasarkan tahun. Ia menyatakan, "Dengan menggunakan antrean itu, maka akan terjadi keadilan yang merata baik dari Aceh sampai Papua, antreannya sama, 26,4 tahun."
Selain menurunkan waktu tunggu bagi provinsi dengan antrean panjang, kebijakan ini juga akan menyamakan nilai manfaat pembayaran yang selama ini berbeda-beda antar daerah. Wakil Menteri Haji Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan bahwa penetapan kuota haji selama ini pernah ditemukan tidak sesuai dengan undang-undang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga kebijakan ini bertujuan menyesuaikan agar antrean menjadi 26 tahun.