Hakim Konstitusi Saldi Isra mengemukakan perlunya transparansi terkait konflik dalam beasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang diajukan dalam perkara uji materi 146/PUU-XXIII/2025. Ia meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyerahkan naskah akademik yang menjadi dasar pembentukan Pasal 187 ayat 4 dan Pasal 209 ayat 2 dalam Undang-Undang Kesehatan 17/2023.
"Sekali lagi tolong kami betul-betul (diberikan penjelasan), ini catatan khusus betul-betul (dijelaskan secara gamblang) dulu di naskah akademiknya bagaimana? Dari mana naskah akademik mengambil rujukan perumusan norma seperti itu?" ujar Saldi saat sidang di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (2/10/2025).
Saldi meninjau bahwa pasal yang menjadi pertanyaan ini menunjukkan kontradiksi internal, yakni pernyataan di satu pasal yang bertentangan dengan yang lain. Ia menyebutkan bahwa biasanya MK menemukan kontradiksi di dalam undang-undang yang disusun dengan pasal berbeda, tetapi kali ini kontradiksi muncul dalam satu pasal.
Contohnya, Pasal 209 ayat 1 menyatakan bahwa penyelenggaraan PPDS dilakukan oleh perguruan tinggi sebagai penyelenggara utama. Namun, ayat 2 pada pasal yang sama menyebutkan bahwa rumah sakit pendidikan juga dapat menyelenggarakan PPDS sebagai penyelenggara utama.
"Nah ini ketemu lagi (kontradiksi) ini (dalam Pasal 209) dia dikatakan selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Jadi kalau lihat konstruksi kalimatnya, ini perguruan tinggi sebagai utamanya karena selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi, lalu kemudian pendidikan profesi bidang kesehatan dapat juga diselenggarakan oleh rumah sakit pendidikan," katanya.
Uji materi UU Kesehatan ini diajukan oleh dua mahasiswa sarjana ilmu kedokteran dan dua dosen kedokteran yang merupakan ahli bedah dan ahli anestesi, yang menilai adanya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan PPDS dan pemberian beasiswa.
Saat ini, terdapat dua sistem penyelenggaraan PPDS, yakni berbasis rumah sakit dan berbasis universitas. Menteri Kesehatan menyebut bahwa sistem hospital based merupakan program baru, sedangkan sistem university based telah berjalan sebelumnya.
Pemohon menilai, penerapan dua sistem ini menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan karena perbedaan biaya pendidikan. Mereka menilai, biaya yang gratis hanya diberikan kepada mahasiswa hospital based, sementara mahasiswa university based harus membayar biaya yang tinggi.
"Oleh karena itu, menjadi tidak adil dan menimbulkan kecemburuan apabila pemohon I dan pemohon II akan mengambil program spesialis/subspesialis nantinya di university based," tulis permohonan tersebut.
Para pemohon kemudian meminta MK agar menghapus sistem berbasis rumah sakit dan mengarahkan seluruh penyelenggaraan PPDS di bawah sistem pendidikan tinggi yang kampusnya menjadi penyelenggara utama. MK juga diminta membatasi peran rumah sakit pendidikan hanya sebagai mitra pelaksana klinis, bukan sebagai penyelenggara utama.
Perlu diketahui, peluncuran PPDS berbasis rumah sakit ini dilakukan setelah munculnya UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Program ini diluncurkan karena Indonesia masih kekurangan puluhan ribu dokter spesialis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan tahun 2024, peluncuran PPDS berbasis rumah sakit dilakukan karena program hospital based dianggap mampu mempercepat produksi dokter spesialis. Menteri mengungkapkan, sebanyak 420 rumah sakit pendidikan di seluruh Indonesia akan terlibat dalam program ini, berbeda dari hanya 24 fakultas kedokteran yang aktif sebelumnya.
Tags: UU Kesehatan PPDS Hakim MK Naskah akademik Kontradiksi hukum