Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hidup dalam kenyamanan berlebih karena menerima uang pensiun seumur hidup. Ia menyebutkan bahwa idealnya, seorang anggota DPR hanya menjabat selama satu periode, yaitu lima tahun, dan bukan mendapatkan manfaat pensiun seumur hidup.
Lucius menyoroti, jika seorang anggota DPR berusia 25 tahun saat selesai masa jabatannya, mereka sudah menerima jatah pensiun yang terus berjalan. Padahal, setelah tak lagi menjadi anggota parlemen, mereka masih aktif bekerja di tempat lain. Ia mengapresiasi langkah warga yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dana pensiun seumur hidup anggota DPR.
Baca juga: KRI Belati-622 Kapal Cepat Rudal Baru Perkuat TNI AL
Kontroversi Dana Pensiun DPR dan Rasa Keadilan
Menurutnya, banyak hal terkait tunjangan pensiun anggota DPR yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa aturan, seperti undang-undang, dibuat untuk memastikan terciptanya keadilan sosial. Jika masyarakat merasa aturan tersebut tidak adil, maka seharusnya dievaluasi secara menyeluruh.
Dasar hukum dana pensiun anggota DPR adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang berasal dari rezim Orde Baru. Lucius menilai, UU tersebut perlu segera diperbarui karena sudah cukup kedaluwarsa dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Ia menyoroti, DPR cenderung enggan merevisi UU ini, berbeda dengan UU lain yang biasanya direvisi dalam waktu kurang dari setahun.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa pemberian uang pensiun meskipun anggota hanya menjabat satu periode, dianggap tidak relevan dan tidak adil oleh masyarakat. Ia menyarankan bahwa uang pensiun seharusnya diberikan kepada orang yang secara usia sudah tidak mampu lagi bekerja, bukan kepada mereka yang masih sehat dan aktif.
Lucius kembali menyampaikan, para anggota DPR biasanya masih dalam kondisi segar saat pensiun, sehingga otomatis menerima dana pensiun, sekalipun mereka gagal dalam pemilihan berikutnya. Ia menyebutkan, kinerja anggota DPR pun sulit dikatakan layak diapresiasi, sehingga dana pensiun tersebut tidak pantas diberikan.
Selain itu, Lucius menekankan, pemberian dana pensiun harus dievaluasi karena tidak relevan, tidak masuk akal, dan tidak pantas ditengah keterbatasan anggaran pemerintah saat ini. Ia menegaskan, pemborosan anggaran untuk dana ini perlu dihentikan agar alokasi dana lebih tepat sasaran.
Baca juga: Kehilangan Nilai dalam Kekuasaan: Ancaman Negara Modern
Gugatan ke MK dan Perbandingan Internasional
Sebelumnya, MK diminta untuk mencoret DPR dari daftar penerima dana pensiun dalam UU No. 12 Tahun 1980. Gugatan tersebut dilayangkan oleh seorang psikiater dan seorang mahasiswa. Mereka menganggap bahwa penggunaan dana pajak untuk membiayai dana pensiun seumur hidup anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun tidak adil.
Dalam gugatan yang diajukan, Lita Linggayani mengaku merasa keberatan pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR yang hanya lima tahun menjabat, tetapi menerima pensiun seumur hidup dan bisa diwariskan. Ia mempermasalahkan keberlakuan UU tersebut dan meminta MK mencoret DPR dari daftar lembaga yang berhak menerima pensiun.
Dalam antrean penolakan tersebut, gugatan membandingkan sistem hak keuangan anggota legislatif dari beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan India. Negara-negara tersebut menerapkan batas usia tertentu atau sistem tabungan pensiun umum, berbeda dengan sistem seumur hidup yang berlaku di Indonesia.
Misalnya, anggota Kongres AS diatur dengan batas minimal usia 62 tahun dan gaji rata-rata masa jabatan. Australia dan Inggris lebih banyak menggunakan sistem tabungan pensiun, sementara India memberi pensiun tetap seumur hidup, meskipun hanya menjabat satu periode.
Tags: Keadilan Sosial Pensiun DPR Gugatan MK Reformasi Hukum Anggaran Negara