Ilustrasi.

Kehilangan Nilai dalam Kekuasaan: Ancaman Negara Modern

1 jam lalu | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Kekuasaan yang kehilangan nilai hanya akan menciptakan kekosongan moral dan arah. Negara tanpa nilai seperti tubuh tanpa jiwa, hidup tanpa makna. Banyak tradisi dan perayaan nilai seringkali hanya formalitas tanpa penghayatan. Kekuasaan kehilangan ruhnya ketika menyingkirkan moral dan etika. Peristiwa sejarah bangsa ini penuh luka akibat kekuasaan yang tercerabut dari nilai. Kritik dan media yang dikontrol mengulang trauma lama. Pengembalian nilai adalah tugas bersama: pemimpin, rakyat, dan seluruh masyarakat. Nilai tetap hidup melalui sikap jujur, adil, dan berani bersuara. Keberlangsungan demokrasi bergantung pada kesadaran kolektif menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai dasar bangsa.

Kekuasaan pada awalnya muncul dari keinginan sederhana: mengatur hidup bersama. Ia bukan sekadar alat, namun merupakan janji untuk melindungi dan menuntun masyarakat.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa kuasa sering menyimpang dari nilai dasar. Ia kehilangan muatan moral dan bertransformasi menjadi mesin negara tanpa jiwa, hanya bergerak mengikuti kepentingan sesaat.

Kondisi Kekuasaan Tanpa Nilai di Indonesia

Kita menyaksikan fenomena ini saat ini. Kekuasaan beroperasi seperti kereta tanpa masinis, meskipun mesin berjalan keras, arahnya seringkali dipandu oleh kepentingan jangka pendek.

Dalam dunia politik, nilai-nilai luhur sering dijadikan sekadar slogan, etika hanya atribut, dan moral dipinggirkan dari praktik.

Apakah sebuah negara mampu bertahan tanpa mengedepankan nilai? Secara teori, mungkin iya, tetapi keberadaannya akan mirip zombie—masih bergerak dan bernafaskan, namun tanpa ruh dan makna.

Negara modern terbentuk melalui perjuangan panjang yang melibatkan ide-ide dan pengorbanan darah. Dari Plato hingga Rousseau, dari Machiavelli hingga Montesquieu, kuasa selalu terkait erat dengan prinsip keadilan, kebebasan, dan kebajikan.

Walaupun Machiavelli sering dianggap menghalalkan segala cara, namun dalam diam beliau tetap berangkat dari nilai utama: menjaga keberlanjutan republik.

Realitas Kekuasaan Tanpa Nilai di Indonesia

Di Indonesia, pola ini tampak jauh berbeda. Kekuasaan lebih sering diperlakukan sebagai ladang bisnis, bukan amanah moral. Partai politik menjadi perusahaan politik, dan lembaga hukum sering kali berubah menjadi pasar transaksi kekuasaan.

Akibatnya, muncul ironi besar: negara yang dibangun atas nama rakyat, tetapi rakyat justru menjadi penonton yang jauh dari panggung kekuasaan. Kuasa kehilangan bayangannya dan menjadi tubuh tanpa cermin refleksi.

Meski nilai-nilai luhur seperti Pancasila, demokrasi, dan keadilan sosial tetap disebut-sebut, kenyataan menunjukkan bahwa makna di balik kata-kata itu seringkali pudar. Ritual-ritual formalitas sering kali dilakukan tanpa penghayatan dan pengamalan.

Perayaan hari-hari penting seperti Hari Pancasila maupun Hari Konstitusi kerap dirayakan, namun sepi makna dalam hati masyarakat.

Kekuasaan yang kehilangan nilai tetap berkelit melalui ritual, slogan, baliho, dan jargon. Saat rakyat mengalami penderitaan, hukum timpang, dan kebijakan merugikan, praktik ini hanyalah pertunjukan kosong.

Baca juga: Sidang Uji Pasal 21 UU Tipikor Bahas Ratifikasi Hukuman

Dampak Kekosongan Nilai dalam Negara

Akibat kekosongan nilai ini, yang muncul adalah kekosongan moral dan arah. Hukum bisa diperdagangkan, kebijakan bisa dipertukarkan, dan demokrasi pun bisa menjadi formalitas limabelas tahunan.

Keadaan ini menghadirkan berbagai masalah seperti korupsi merajalela, kekerasan yang dilegalkan, dan pembungkaman suara yang dibalut narasi stabilitas.

Negara seperti ini berjalan tanpa jiwa, layaknya tubuh yang bernapas dengan alat, tetapi tanpa ruh yang menghidupinya.

Sejarah bangsa ini penuh luka akibat kekuasaan yang kehilangan nilai-nilai dasar. Peristiwa ketika rakyat dipaksa diam, hukum tunduk pada perintah, dan kebebasan dibungkam merupakan trauma kolektif yang tidak boleh dilupakan.

Namun, luka-luka tersebut seolah terlupakan. Padahal, bangsa yang melupakan luka akan berisiko mengulangnya, karena luka adalah pengingat akan bahaya kekuasaan yang tercerabut dari nilai moral.

Sekarang, tanda-tanda yang serupa mulai nampak kembali. Kritik dianggap musuh, media dikontrol, dan aparat melakukan tindakan berlebihan. Situasi ini seperti mengulang naskah lama yang penuh trauma.

Baca juga: KRI Belati-622 Kapal Cepat Rudal Baru Perkuat TNI AL

Cara Mengembalikan Nilai dalam Kekuasaan

Ada jalan keluar dari kondisi ini. Nilai bukan barang mati yang hilang begitu saja, melainkan sesuatu yang bisa kembali dan dipelihara.

Siapa yang harus memanggil kembali nilai-nilai tersebut? Tentunya para pemimpin, tetapi juga rakyat, intelektual, mahasiswa, media, dan komunitas di kampung-kampung harus turut serta.

Nilai tidak berkembang dari atas saja. Ia lahir dari kehidupan sehari-hari melalui sikap sederhana: jujur, adil, dan berani bersuara.

Pengembalian kekuasaan ke jalan yang benar hanya mungkin bila publik aktif menuntut dan tidak menyerah kepada kekuasaan yang menyimpang.

Kita perlu bercermin. Apakah bangsa ini masih mempraktikkan nilai-nilai dasar? Apakah pejabat merasa malu bila melanggar etika? Apakah hukum masih dilihat sebagai keadilan, bukan sekadar pasal?

Cermin sering retak, tetapi dari retakan itu kita bisa melihat wajah yang sebenarnya. Bukan wajah yang dipoles baliho dan media, melainkan wajah asli dari kekuasaan kita.

Jika wajah itu menunjukkan kekosongan dan kehilangan ruh, maka tanda itu adalah negara sedang kehilangan jati diri.

Kuasa tanpa nilai hanyalah nafsu telanjang. Negara tanpa jiwa hanyalah bangunan kosong.

Negara Indonesia pernah berjanji melindungi seluruh bangsa, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan rakyat, dan menjaga ketertiban dunia. Janji itu adalah nilai, bukan sekadar kata-kata belaka.

Sekarang, janji tersebut sedang diuji. Apakah kita akan membiarkan kekuasaan berjalan tanpa nilai? Apakah kita rela negara tanpa jiwa?

Sejarah mengajarkan bahwa bangsa bisa runtuh bukan hanya karena serangan luar, tetapi juga karena kekosongan dari dalam.

Kehampaan itu kini mengetuk pintu kita, menunggu untuk diatasi dengan kesadaran dan komitmen bersama.

Tags: politik Indonesia demokrasi Kekuasaan nilai bangsa

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan