Presiden Prabowo Subianto (kiri) didampingi Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo berjalan usai menjenguk polisi yang dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Senin (1/9/2025). Presiden Prabowo Subianto menjenguk anggota polisi yang mengalami cedera dan luka-luka akibat kericuhan saat aksi unjuk rasa di Jakarta dan meminta Kapolri untuk menaikan pangkat luar biasa kepada anggota yang terluka.

Reformasi Polri dan Tantangan Pergantian Kapolri

5 hari lalu | Nur Aisyah | Berita | Berita Nasional

Dalam berbagai dinamika politik dan institusional, pembenahan Polri menjadi tantangan utama, terutama menyangkut reformasi internal, relasi antar lembaga, serta pemilihan pemimpin baru yang mampu mengembalikan kepercayaan publik.

Perkataan Presiden Prabowo Subianto dalam Rapim TNI-Polri Januari 2025 yang menyebut bahwa "ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal" kini semakin terasa relevan. Pernyataan tersebut awalnya terdengar sebagai ungkapan teoretis, namun belakangan menjadi refleksi nyata terhadap kondisi institusi Polri dan TNI secara umum.

Sampai saat ini, belum ada langkah besar dari Presiden Prabowo dalam membenahi unsur-unsur internal militer dan kepolisian. Sebaliknya, pernyataan yang sama menggambarkan keinsafan Presiden bahwa Polri membutuhkan reformasi mendalam, bahkan hingga dibentuknya Tim Reformasi Polri (TRP).

Pembentukan TRP diinterpretasikan sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi Polri yang dinilai memerlukan koreksi serius agar tidak berkontribusi terhadap kegagalan bangsa. Walaupun Polri memiliki sejumlah capaian, seperti dukungan terhadap program ketahanan pangan melalui kampanye makan bergizi gratis, reputasi institusi ini kini cenderung ternoda oleh isu-isu besar.

Baca juga: Prabowo Subianto Tampil Perdana di PBB dan Gelar Pertemuan Penting

Reaksi Publik dan Pembentukan TTRP

Respons masyarakat terhadap rencana pembentukan TRP cukup kencang. Ketika bersamaan, dari Markas Besar Polri muncul informasi mengenai pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri (TTRP). Karo Penmas Divisi Humas Polri menyatakan bahwa TTRP adalah "tindak lanjut Polri untuk mengelola transformasi institusi guna mencapai proses dan tujuan akselerasi transformasi Polri sesuai dengan harapan masyarakat".

Reaksi publik pun beragam, sebagian menyatakan keprihatinan dan kecurigaan bahwa pembentukan TTRP merupakan sikap resistansi dari kepolisian terhadap inisiatif reformasi dari Presiden. Hal ini menimbulkan nuansa masa lalu ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, di mana muncul dinamika terkait dualisme kepemimpinan di tubuh Polri.

Selain itu, sejak dilantik sebagai Kapolri pada 2021, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo telah menetapkan delapan komitmen dan enam belas program prioritas, yang kemudian dirancang dalam tiga tahapan dengan target akhir pada Desember 2024. Namun, hingga bulan September 2025, tidak ada pembaruan yang signifikan terkait pelaksanaan program tersebut, memperlihatkan adanya kekosongan komitmen terhadap rencana awal.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mengenai efektivitas kepemimpinan Kapolri dan pengawasan dari DPR terkait keberlangsungan program-program prioritas tersebut. Keputusan Presiden untuk mengeluarkan Sprin 2749/2025 mengenai TTRP setelah periode tersebut menimbulkan persepsi bahwa langkah tersebut bersifat reaktif, sekaligus menciptakan kekhawatiran bahwa keberadaan TTRP bukanlah murni inisiatif internal reformasi Polri.

Baca juga: Prabowo Ungkap Respon Positif Dunia terhadap Pidatonya di PBB

Isu-isu Krusial dan Masa Depan Kepemimpinan Polri

Salah satu isu besar yang mengemuka terkait pergantian Kapolri selanjutnya adalah soal sikap institusional terhadap politik praktis. Selama lebih dari satu dekade, Polri disebut-sebut terlibat dalam permainan politik yang memperkeruh citra profesionalitasnya dan menimbulkan kekhawatiran akan pengaruh politik dalam lembaga ini.

Selain itu, tantangan dalam pemberantasan korupsi masih cukup besar. Meski memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Polri belum mampu menunjukkan capaian signifikan di ranah ini, dan persepsi publik terhadap kinerjanya cenderung rendah dibandingkan institusi lain seperti Kejaksaan Agung dan KPK.

Ketiga, persoalan hubungan antar lembaga negara juga menjadi sorotan. Polri dinilai belum mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI dan Kejaksaan, bahkan sering kali disudutkan dalam berbagai dinamika politik dan keamanan nasional. Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan sinergi yang lebih baik dalam menjaga stabilitas negara.

Dalam kerangka membangun Polri yang lebih baik ke depan, penting adanya figur pemimpin yang mampu menata ulang relasi antar lembaga, memperkuat solidaritas internal, serta memperteguh integritas dan profesionalisme sebagai fondasi utama institusi.

Jika kekuatan sumber daya manusia Polri mampu memenuhi kriteria tersebut, tentu langkah perekrutan kapolri dari internal sangat layak dipertimbangkan. Namun, jika dinilai tidak mampu, maka opsi pengangkatan dari luar harus dipertimbangkan dengan serius, termasuk kemungkinan keluarnya Perppu untuk memudahkan proses pergantian kepemimpinan.

Peningkatan kualitas Polri sebagai institusi penegak hukum dan pelayan masyarakat, serta mampu bersikap netral dan profesional, menjadi kunci utama guna memastikan keberhasilan reformasi dan peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri secara keseluruhan.

Tags: Politik Indonesia Kapolri Polri Polisi Indonesia Reformasi

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan