Komisi VI DPR RI tengah membahas usulan revisi Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencakup penetapan BUMN sebagai penyelenggara negara. Rencana ini bertujuan agar BUMN dapat diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan aset negara.
Pembahasan ini dilakukan pada rapat di ruang Komisi VI DPR di Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2025), yang melibatkan sejumlah pakar dari berbagai fakultas hukum perguruan tinggi ternama di Indonesia. Para narasumber seperti Parulian Paidi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Oce Madril dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, serta perwakilan dari Fakultas Hukum STIH IBLAM dan Universitas Jenderal Soedirman turut memberikan pandangan terkait revisi tersebut.
Perlunya Pengawasan yang Lebih Ketat terhadap BUMN
Anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan terima kasih atas paparan dari para pakar yang memperkuat pandangannya bahwa BUMN harus dipandang sebagai bagian dari penyelenggara negara. Ia menegaskan bahwa para pejabat yang terlibat dalam pengelolaan BUMN, termasuk direksi dan komisaris, harus menjadi pejabat negara yang dapat diaudit dan diperiksa oleh lembaga pengawas negara seperti BPK dan KPK.
"Saya mengucapkan terima kasih sekali bahwa apa yang dipaparkan oleh keempat narasumber ini menguatkan pandangan bahwa BUMN sebagai penyelenggara negara, sehingga para pihak yang terlibat di dalam operasional itu juga terkena hal-hal yang menjadi kewajiban pada pejabat penyelenggara negara, termasuk diaudit oleh BPK dan termasuk bisa diperiksa oleh KPK," ujarnya.
Baca juga: Farida Farichah: Kisah Mendadak Jadi Wakil Menteri Koperasi
Peningkatan Pengawasan dan Potensi Kerugian Negara
Rieke juga menyoroti potensi kerugian dari BUMN yang bisa berujung pada kerugian negara. Ia mempertanyakan apakah kerugian yang dialami BUMN secara otomatis menjadi tanggung jawab negara, terutama pada BUMN yang menerima suntikan dana dari pemerintah namun tetap mengalami kerugian.
"Terkait tadi teman-teman mengatakan ada kerugian negara, ini apakah kerugian BUMN masuk secara 100% sebagai kerugian negara? Nah, ini yang kami butuh masukan ke depan pimpinan, karena beberapa kasus menunjukkan tadi ada BUMN-BUMN yang mendapatkan penugasan negara, tapi ketika penugasan itu rugi, misalnya seperti kereta api cepat, lalu dibebankan kepada BUMN-nya," ujar Rieke.
Ia menambahkan bahwa proyek-proyek tersebut terkadang tidak memenuhi syarat kelayakan dan bisa membahayakan keuangan negara. Oleh karena itu, perlu dikaji secara matang siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Baca juga: Prabowo Dukung Kemerdekaan Palestina di Sidang PBB
Pengakuan Posisi Pejabat BUMN sebagai Pejabat Negara
Rieke menyebutkan bahwa direksi dan komisaris BUMN seharusnya diakui sebagai pejabat negara. Dengan statutory tersebut, mereka berhak diaudit oleh BPK dan diperiksa KPK, sehingga praktis meningkatkan akuntabilitas pengelolaan aset negara.
"Nah, ada poin-poin seperti ini yang menurut saya pertama jelas BUMN, para pemangku, direksi, komisaris, dan seterusnya adalah pejabat negara, bagian dari penyelenggara negara, dan bisa terkena dan harus diaudit oleh BPK serta bisa diperiksa oleh KPK," ungkapnya.
Akan tetapi, Rieke juga mempertanyakan apakah kerugian BUMN otomatis menjadi tanggung jawab negara. Ia menyoroti beberapa BUMN yang menerima suntikan dana tetapi tetap mengalami kerugian besar, sehingga muncul pertanyaan mengenai hak dan kewajiban negara secara hukum atas kerugian tersebut.
"Tapi pertanyaannya adalah mungkinkah kami kemudian membuka suatu ruang hukum yang tidak serta-merta semua kerugian, dan kalau misalnya kerugian BUMN adalah kerugian negara, maka secara otomatis kalau dia rugi, negara harus menanggung," tuturnya. Ia menegaskan pentingnya penataan hukum agar tidak menimbulkan beban berlebihan terhadap pemerintah terkait kerugian BUMN tertentu.
Tags: Revisi UU BUMN Pengawasan BUMN Audit BUMN Kerugian Negara