Sidang lanjutan kasus suap hakim CPO di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2025).

Wilmar Singapura Pasif Respons Usai Vonis Bebas Kasus CPO

24 Sep 2025 | Farrel Santoso | Berita | Berita Nasional

Kasus suap hakim di Pengadilan Jakarta Pusat mengungkap minimnya respons dari Wilmar Singapura terhadap putusan bebas terhadap anak perusahaan mereka dalam kasus dugaan korupsi CPO, menimbulkan pertanyaan tentang komunikasi dan strategi perusahaan induk di luar negeri.

Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan keheranan terhadap kurangnya respons dari Wilmar Singapura terkait putusan onslag yang diberikan kepada anak perusahaan mereka di Indonesia dalam kasus dugaan korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO).

Saat pengawasan berlangsung dalam sidang kasus dugaan suap terhadap hakim yang memutuskan lepas tiga korporasi CPO, juru bicara JPU menanyakan kepada saksi Monique Berlian Harlida Aswanto, yang menjabat sebagai legal corporate Wilmar Indonesia, mengenai respons dari Wilmar Singapura terkait laporan yang dibuat setelah putusan dijatuhkan.

Monique mengungkapkan bahwa atasannya di Wilmar Singapura tidak memberikan tanggapan yang signifikan dan hanya merespon secara sederhana, yaitu "Ya, terima saja sih."

Jawaban tersebut menimbulkan keheranan di kalangan jaksa, mengingat vonis onslag diharapkan oleh Wilmar sebagai terdakwa. Salah satu jaksa bertanya, "Bagaimana itu, berita besar itu, masak terima saja sih seperti itu, Bu? Coba dijelaskan bagaimana?"

Monique menjelaskan bahwa dirinya secara rutin melaporkan perkembangan kasus ini kepada atasannya di Singapura yang bernama Jan Tan. Saat ditanya tentang respons terhadap putusan yang sesuai keinginan mereka, Monique tetap menjawab bahwa respons dari pihak Singapura hanya "Oke saja sih harusnya."

Dalam persidangan, Monique mengaku komunikasi dengan pihak Singapura bersifat umum dan tidak mendetail. Ia juga menyebutkan tidak ingat dengan pasti respons mereka, namun memperkirakan respons tersebut sebatas "ok saja."

Jaksa kemudian meminta Monique untuk menjelaskan lebih rinci mengenai komunikasi terkait hasil putusan, termasuk apakah ada diskusi strategis soal strategi hukum ataupun tentang besaran honor penasihat hukum yang mewakili Wilmar di ranah hukum. Monique mengaku harus mendiskusikan hal tersebut dengan induk perusahaan di Singapura, tetapi tidak ingat detilnya.

Ketika ditanya soal uang suap senilai Rp 60 miliar yang sebelumnya diungkapkan, Monique mengaku tidak mengetahui sama sekali mengenai hal ini. Padahal, saksi Ariyanto pernah menyampaikan ada komunikasi dengan pihak Singapura dan penyerahan uang tersebut di lobi Pacific Place.

Selain itu, Monique menyatakan tidak mengetahui penyerahan uang tersebut dari Wilmar Singapura atau pejabat Wilmar Indonesia, dan menyebutkan, "Tidak tahu."

Dalam kasus ini, Marcella dan Ariyanto yang merupakan pengacara mewakili ketiga korporasi CPO, sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap kepada hakim, namun berkas mereka belum dilimpahkan ke pengadilan.

Selama sidang, terdapat perdebatan mengenai total nilai uang suap yang disalurkan oleh perusahaan dan yang diterima para hakim dan pegawai pengadilan. Jaksa menjelaskan, bahwa total uang suap tersebut mencapai Rp 40 miliar, dengan rinciannya: Muhammad Arif Nuryanta menerima Rp 15,7 miliar; Wahyu Gunawan menerima Rp 2,4 miliar; Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar; dan dua hakim anggota, Ali Muhtarom serta Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Uang suap ini digunakan untuk mempengaruhi putusan dan negosiasi agar hakim memutus lepas terhadap tiga korporasi besar, antara lain Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Para hakim tersebut dikenal memutuskan bebas karena menerima suap dalam kasus ini.

Tags: Penegakan Hukum hakim Wilmar korupsi CPO pengadilan Jakarta

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan