Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Mandai 1, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (29/8/2025). SPPG Mandai 1 berhasil meraih predikat Ramah UMKM karena menggunakan 60 persen produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai bahan baku dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat rantai pasok pangan lokal.

Dilema Kebijakan Makan Bergizi Gratis: Crowding Out atau Crowding In?

25 Sep 2025 | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Kebijakan Makan Bergizi Gratis di Indonesia memicu perdebatan mengenai dampak fiskal dan sosial, dengan pengalaman internasional menunjukkan potensi crowding in untuk pembangunan manusia.

Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah Indonesia tengah menjadi pusat perhatian publik, memicu diskusi dari berbagai kalangan mulai dari akademisi hingga politik. Program ini bertujuan menyediakan makanan sehat bagi pelajar sekolah sebagai investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menekan angka stunting, serta memperkuat daya saing bangsa.

Di sisi lain, peningkatan alokasi anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan fiskal serta potensi pengalihan prioritas pembangunan lainnya. Fenomena ini cocok disandingkan dengan konsep crowding out effect dalam ekonomi publik, di mana belanja pemerintah yang besar justru mengurangi peran sektor swasta, komunitas, atau rumah tangga dalam aktivitas yang sama.

Analisis kritis diperlukan untuk menilai apakah kebijakan MBG akan mendorong pembangunan manusia secara inklusif atau malah menjadi beban fiskal yang melemahkan partisipasi sosial. Berbagai kerangka ekonomi makro, pengalaman negara lain, dan desain kelembagaan harus dipertimbangkan agar kebijakan ini benar-benar efektif dan berkelanjutan.

Sebelum menyimpulkan, publik perlu memahami apa itu crowding out dan crowding in, yang dapat menjadikan kebijakan ini sebagai instrumen termasuk atau justru menimbulkan risiko.

Pengaruh Crowd Out dan Crowd In dalam Kebijakan MBG

Secara teori, crowding out effect terjadi ketika intervensi besar pemerintah mengurangi ruang gerak aktor lain, seperti swasta dan rumah tangga. Dalam konteks MBG, risiko ini muncul dalam empat lapisan utama.

Pertama, crowding out fiskal. Anggaran MBG yang diproyeksikan meningkat dari Rp 71 triliun tahun 2025 menjadi Rp 335 triliun pada 2026 menimbulkan tekanan signifikan terhadap ruang fiskal nasional. Pembiayaan melalui utang akan meningkatkan beban bunga dan potensi kenaikan suku bunga riil, yang akhirnya merugikan investasi swasta. Jika dana bersumber dari pajak, maka berkuranglah daya beli masyarakat dan potensi investasi di sektor lain menjadi terhambat.

Kedua, crowding out sektoral. Program makanan gratis secara nasional berpotensi mengganggu aktivitas ekonomi di tingkat lokal, seperti operasional kantin sekolah, UMKM katering, dan koperasi pangan penyedia kebutuhan siswa. Jika distribusi dikendalikan oleh segelintir kontraktor besar, pelaku usaha kecil akan tersisih dari rantai pasok.

Ketiga, crowding out sosial. Dalam praktik internasional, ekspansi program sosial besar-besaran bisa menurunkan partisipasi filantropi dan gotong royong masyarakat. Sebagai contoh, orangtua yang sebelumnya menyiapkan bekal sehat untuk anaknya mungkin menjadi pasif, beranggapan bahwa kebutuhan tersebut telah ditanggung oleh negara.

Keempat, crowding out perilaku. Potensi munculnya moral hazard di tingkat rumah tangga, di mana perhatian terhadap gizi keluarga menurun karena tanggung jawab dialihkan ke sekolah, dapat melemahkan kemandirian keluarga dan pola makan sehat di masa depan.

Baca juga: Komisi XIII Bahas Konflik Agraria, Menteri Disemprot Aktivis

Pengalaman Internasional sebagai Inspirasi

Meski risiko crowding out nyata, pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kebijakan makan gratis justru dapat memicu crowding in—peningkatan partisipasi dan investasi masyarakat. Program "Mid-Day Meal" di India terbukti meningkatkan kehadiran siswa serta hasil belajar, sekaligus menurunkan angka malnutrisi, mengarah ke peningkatan produktivitas generasi muda dalam jangka panjang.

Brasil melalui Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) menerapkan kebijakan minimal 30 persen bahan pangan dari petani kecil lokal untuk kebutuhan sekolah, yang tidak hanya memastikan keberlanjutan pasokan lokal, tetapi juga meningkatkan pendapatan petani sampai dua kali lipat. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa belanja negara bisa memperkuat ekonomi lokal dan menciptakan pasar yang inklusif, mendorong konsep crowding in—aktivitas ekonomi baru yang berasal dari aktor non-negara.

Pengalaman-pengalaman ini memberi pelajaran penting bagi Indonesia, bahwa program MBG tidak harus bersifat sentralisasi dan monopoli pemasok. Dengan regulasi yang mendukung usaha lokal, transparansi kontrak, dan penguatan rantai pasok, program ini berpotensi menciptakan efek pengganda dalam bidang pertanian, UMKM, dan koperasi sekolah.

Baca juga: Timnas Indonesia Melangkah ke Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia

Strategi Membangun Kebijakan Berkelanjutan dan Inklusif

Untuk menghindari jebakan crowding out dan memperbesar peluang crowding in, desain kebijakan MBG harus mengutamakan prinsip keberlanjutan, keterlibatan masyarakat lokal, dan akuntabilitas. Ada tiga rekomendasi utama yang perlu diperhatikan.

Pertama, tata kelola fiskal secara bertahap. Peningkatan anggaran harus mengikuti kerangka belanja jangka menengah yang realistis, menghindari lonjakan drastis yang berisiko menegasikan sektor lain. Penganggaran juga harus tidak mengorbankan pos-pos penting di bidang pendidikan, seperti peningkatan kualitas guru dan fasilitas sekolah.

Kedua, konstruksi rantai pasok yang inklusif. Pemerintah perlu menetapkan kuota minimum pembelian dari petani lokal, koperasi, dan UMKM katering, dengan skema kontrak kecil yang terjangkau. Pendekatan hybrid dapat diterapkan, misalnya voucher makan yang dapat digunakan di kantin sekolah atau mitra lokal, sementara dapur terpusat berfungsi sebagai penyangga di daerah terpencil.

Ketiga, integrasi edukasi gizi dan partisipasi masyarakat. Program MBG tidak hanya sebatas distribusi makanan, tetapi juga harus menjadi sarana edukasi pola makan sehat. Melibatkan orangtua dan masyarakat dalam perencanaan menu, serta membangun kolaborasi dengan sektor swasta dan filantropi, guna menyediakan nutrisi tambahan tanpa mengurangi peran negara, akan memperkuat keberhasilan program.

Secara garis besar, MBG menyimpan potensi besar sebagai investasi jangka panjang untuk kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada desain kebijakan yang tepat, menerapkan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan, serta mengedepankan partisipasi masyarakat lokal.

Perdebatan seharusnya tidak terjebak pada retorika pro-kontra, melainkan fokus pada bagaimana pengelolaan program ini dapat memperkuat ekosistem pangan dan membangun generasi sehat serta cerdas. Pilihan Indonesia di masa depan tergantung pada strategi yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan ini, apakah akan menjadi subsidi yang melemahkan atau upaya strategis yang memberdayakan masyarakat.

Tags: Program Pemerintah Kebijakan Sosial pembangunan manusia ekonomi publik pengalaman internasional

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan