Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaeman Suryanegara saat ditemui di Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (25/9/2025).

Pemerintah Tunggu Payung Hukum Selesaikan Tumpang Tindih Tanah Transmigrasi

25 Sep 2025 | Farrel Santoso | Berita | Berita Nasional

Pemerintah menunggu payung hukum dari Presiden untuk menyelesaikan tumpang tindih status tanah transmigrasi dan kawasan hutan yang merugikan masyarakat petani dan transmigrasi.

Persoalan status 17.650 bidang tanah transmigrasi yang berada di kawasan hutan terus menjadi sorotan dan menunggu solusi dari pemerintah. Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaeman Suryanegara menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu regulasi dari Presiden Prabowo Subianto agar dapat menyelesaikan masalah tersebut secara definitif.

Penjelasan tersebut disampaikan dalam Rapat Komisi V DPR RI bersama Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal yang digelar pada Selasa (16/9/2025). Iftitah mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni terkait langkah penyelesaian status tanah tersebut.

"Tinggal nanti kami menunggu rapat terbatas dengan Bapak Presiden untuk diberikan satu payung hukum yang lebih tegas dan lebih tinggi begitu," ujarnya saat ditemui di Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (25/9/2025).

Iftitah menjelaskan, salah satu solusi yang diusulkan adalah pelepasan kawasan hutan dari status tanah yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ia mempertegas bahwa proses pelepasan ini tetap memerlukan penilaian secara mendalam sesuai prosedur yang berlaku.

Baca juga: Polri amankan Rp 204 miliar dari jaringan pembobolan bank

Persoalan Tumpang Tindih dan Dampaknya

Dalam rapat tersebut, mekanisme pelepasan kawasan hutan menjadi salah satu solusi yang diusulkan oleh pemerintah dan anggota dewan agar konflik batas wilayah dapat diselesaikan. Kendati demikian, Iftitah menambahkan bahwa pelepasan tersebut harus melalui proses penilaian yang cermat.

"Kalau misalkan lebih dulu kawasan transmigrasi, ya seharusnya sudah harus dilepaskan," katanya.

Contohnya, di Luwu, Sulawesi Selatan, terdapat kawasan transmigrasi yang mulai dihuni sejak 1999 dan secara resmi memiliki sertifikat hak milik (SHM). Sayangnya, pada tahun 2019, wilayah tersebut diklasifikasikan sebagai kawasan hutan, meskipun keberadaan masyarakat di sana sudah cukup lama dan diakui secara hukum.

"Padahal SHM-nya sudah ada sejak 1999," ujar Iftitah. Ia berharap agar Kementerian Kehutanan dapat melepaskan kawasan hutan tersebut agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.

Sementara itu, tumpang tindih status antara kawasan desa, tanah transmigrasi, dan kawasan hutan masih menjadi hambatan utama. Akibatnya, petani yang menggarap lahan di kawasan tersebut berisiko dipidana karena dianggap menyalahi aturan kawasan hutan, padahal mereka telah menempati dan mengelola lahan tersebut secara resmi dan didukung sertifikat hak milik.

Perbedaan data dan ketidaksinkronan antar kementerian serta pemerintah daerah disebut sebagai faktor utama terjadinya tumpang tindih ini. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menyebutkan ada 2.966 desa yang berada di dalam kawasan hutan, 15.481 desa di tepi kawasan hutan, dan 17.650 bidang tanah transmigrasi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Situasi ini memerlukan solusi yang komprehensif agar tidak menimbulkan konflik sosial dan hukum di lapangan serta memastikan hak-hak masyarakat transmigrasi dan petani terlindungi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tags: pemerintah regulasi kawasan hutan transmigrasi perhutanan sosial

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan