Fenomena tuntutan reformasi pada Polri kembali mencuat ke ruang publik, dengan masyarakat menuntut agar institusi tersebut bertransformasi menjadi lembaga yang lebih profesional dan mampu memenuhi harapan rakyat dalam hal rasa aman, perlindungan, pelayanan, dan keadilan.
Sayangnya, harapan tersebut kini tampak semakin jauh karena Polri sering kali terlibat dalam kegiatan di luar tugas utamanya, seperti mengurusi pertanian jagung, penjualan beras, hingga penanggulangan pengangguran. Meski isu pangan dan pengangguran berdampak pada keamanan dan ketertiban masyarakat, pengambilalihan peran instansi lain oleh Polri menimbulkan penurunan fokus terhadap fungsi pokoknya.
Selain itu, keterlibatan Polri dalam urusan sosial-politik menimbulkan efek negatif, termasuk degradasi kinerja, penurunan moral, dan keraguan terhadap integritas institusi. Kondisi ini memperparah persepsi publik dan memperlebar jurang ketidakpercayaan terhadap Polisi.
Baca juga: Partai Nonparlemen Bentuk Sekretariat Tolak Ambang Batas DPR
Tantangan dan Perkembangan Reformasi Polri
Reformasi Polri bukan sekadar upaya pembenahan struktur organisasi, melainkan juga menyangkut aspek kultural yang selama ini masih sangat militeristik. Gerakan reformasi sejak 1999 didasarkan pada pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), demi membentuk polisi yang berperadaban dan humanis dalam menjalankan tugasnya.
Strategi besar yang diadopsi saat itu meliputi tiga sasaran utama: pembenahan struktural, penguatan instrumen, dan transformasi budaya. Dua sasaran pertama sebagian besar berhasil dipenuhi dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, namun aspek kultur tetap menjadi tantangan terbesar karena membutuhkan kesinambungan dan kepemimpinan yang berorientasi pada profesionalitas.
Reformasi kultural ini sulit dilaksanakan karena selama ini institusi Polri masih dipengaruhi oleh dinamika eksternal, seperti pergantian pimpinan yang sering sarat kompromi, pergolakan rezim politik, dan intervensi dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, sebagian reformasi terhambat, dan orientasi institusi lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik ketimbang profesionalitas.
Baca juga: Partai Nonparlemen Dirikan Sekber untuk Kendalikan Threshold DPR
Perspektif Baru dan Harapan Masyarakat
Walaupun secara struktural Polri telah berada di jalur yang benar, masyarakat tetap merasa belum mendapatkan kepuasan terkait profesionalitas dan integritas polisi. Isu yang muncul justru berkaitan dengan posisi Polri dalam sistem pemerintahan, seperti apakah berada di bawah presiden langsung, menteri, atau lembaga lain.
Padahal, rakyat sebenarnya tidak terlalu peduli posisi institusi ini dalam struktur pemerintahan selama polisi mampu menjalankan tugas secara jujur, adil, humanis, dan berintegritas. Kunci utama yang menjadi polemik adalah fokus pada aspek struktural, sementara tuntutan utama rakyat terkait kemampuan polisi untuk berperan sebagai pelindung dan pelayan sering terlupakan.
Sekarang saatnya untuk menghentikan polemik yang berlarut-larut dan mengedepankan kepentingan bangsa. Kritik terhadap Polri seyogianya diterima sebagai cermin untuk introspeksi dan pembenahan, bukan sebagai hal yang harus dihindari.
Kepercayaan masyarakat merupakan fondasi utama keberadaan Polri, dan hilangnya kepercayaan tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi eksistensinya. Oleh karena itu, reformasi harus terus berjalan agar bangsa ini mendapatkan polisi yang benar-benar profesional dan berintegritas, bukan sekadar wacana tanpa akhir.
Tags: Reformasi Polri Kebijakan Keamanan Profesionalitas Perubahan Kultural Indepedensi Polri