Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Perintah Nomor Sprin/2749/IX/2025 tentang pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri pada 17 September 2025. Tim ini beranggotakan 52 perwira, terdiri dari 47 perwira tinggi dan 5 perwira menengah, dan dianggap sebagai langkah awal menuju kepolisian yang lebih transparan, akuntabel, serta profesional.
Namun, pengumuman ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah reformasi institusi negara, termasuk Polri, dapat dilakukan secara internal tanpa melibatkan proses politik yang melibatkan rakyat dan wakil mereka di parlemen? Ini menjadi relevan mengingat rencana Presiden Prabowo Subianto yang juga akan membentuk Komite Reformasi Kepolisian—sebuah wadah lintas instansi negara dan masyarakat sipil yang diharapkan memperkuat proses reformasi.
Kerangka Hukum dan Kewenangan Reformasi Polri
Menurut Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, berada di bawah Presiden. Ketentuan ini dijabarkan lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menegaskan bahwa struktur, fungsi, serta kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan bersifat konstitusional.
Sehingga, perubahan fundamental dalam kelembagaan Polri bukanlah kewenangan Kapolri secara ambil sendiri, melainkan melalui proses legislasi yang dilakukan DPR sebagai representasi rakyat. DPR mempunyai peran penting dalam memberi legitimasi terhadap setiap perubahan kelembagaan nasional sesuai amanat konstitusi.
Jika reformasi yang dilakukan hanya menyentuh aspek manajerial, seperti prosedur penyidikan, tata kelola sumber daya manusia, atau mekanisme pengawasan internal, maka langkah tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari manajemen organisasi. Namun, jika reformasi menyentuh pada aspek struktur, kelembagaan, atau kewenangan yang diatur undang-undang, maka tindakan tersebut melampaui kewenangan langsung Kapolri.
Sementara itu, rencana Presiden Prabowo untuk membentuk Komite Reformasi Polri diharapkan menjadi forum resmi dan representatif, melibatkan unsur pemerintah, DPR, pakar independen, dan masyarakat sipil. Jika terwujud, komite ini akan memperoleh legitimasi politik yang lebih kuat karena didasarkan pada mandat konstitusional serta mekanisme representasi rakyat.
Baca juga: KPK Periksa Mantan Bendahara Amphuri Terkait Kasus Kuota Haji
Pengalaman Sejarah dan Tantangan Reformasi Polri
Pengalaman konflik sipil-militer dan perjalanan reformasi 1998 menjadi dasar kritik terhadap upaya internal Polri. Setelah reformasi 1998 yang memisahkan Polri dari TNI demi menuju demokratisasi, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini tetap menjadi tantangan hingga saat ini.
Selain praktik pungutan liar di lalu lintas dan kriminalisasi petani serta aktivis lingkungan, skandal besar seperti keterlibatan pejabat tinggi dalam kasus narkoba dan pembunuhan berencana oleh mantan Kadiv Propam menunjukkan rentannya sistem pengawasan internal.
Dalam konteks ini, upaya reformasi sering disampaikan, tetapi jarang diiringi mekanisme yang melibatkan representasi publik yang sah dan efektif. Inisiatif internal Kapolri dinilai cenderung kosmetik dan tidak cukup mengatasi akar persoalan kelembagaan.
Baca juga: Reformasi Polri: Komite dan Tim Transformasi Dibentuk untuk Perbaikan
Implikasi Legitimasi dan Ruang Demokrasi dalam Reformasi Polri
Menurut teori kelembagaan, legitimasi merupakan faktor penting yang menentukan kekuatan sebuah institusi. Theodore Huntington menyatakan bahwa kekuasaan lembaga politik tidak hanya bergantung pada kapasitas organisasi, tetapi juga pada penerimaan dan kepercayaan masyarakat.
Reformasi yang bersumber dari keputusan internal tanpa melalui mekanisme representatif akan sulit memperoleh legitimasi yang luas dan bertahan lama. Sebaliknya, jika reformasi dilakukan melalui jalur legislatif dan partisipasi publik, institusi akan memiliki dasar moral dan politik yang lebih kokoh.
Fenomena ini semakin terlihat dari pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri di DPR, yang memperlihatkan tarik-menarik kepentingan antara memperluas kewenangan dan memperkuat mekanisme pengawasan sipil. Kritik dari masyarakat sipil menilai bahwa proses legislasi ini rawan dimonopoli oleh kepentingan institusional Polri, sehingga rentan mengurangi ruang deliberasi publik yang demokratis.
Oleh karena itu, inisiatif Kapolri sebaiknya dilihat sebagai langkah sementara sebagai respons atas kekosongan kelembagaan. Pembenahan internal memang penting, namun tidak cukup menggantikan proses politik hukum yang merupakan hak prerogatif Presiden dan DPR.
Pertanyaan utama yang perlu dijawab adalah: untuk siapa reformasi ini dilakukan? Jika hanya melindungi kepentingan internal, maka kepercayaan publik tetap rapuh. Sedangkan jika reformasi dijalankan sebagai agenda bangsa yang berangkat dari kebutuhan rakyat, melalui mekanisme perwakilan dan akuntabel secara transparan, maka lembaga polisi dapat bertransformasi menjadi institusi yang profesional dan demokratis.
Dalam konteks ini, Tim Transformasi Reformasi Polri harus dilihat bukan sebagai solusi akhir, melainkan sebagai indikator adanya kekosongan kelembagaan yang selama ini diabaikan. Kekosongan itu hanya bisa diisi melalui jalur konstitusional, yakni melalui pembentukan Komite Reformasi Kepolisian yang memiliki legitimasi politik lebih kuat dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.
Tags: Reformasi Polri Transformasi Kelembagaan Legitimasi institusi Politik dan hukum Mekanisme legislasi