Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dari Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memberikan teguran keras kepada pengacara terdakwa dari PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca, karena menyebut ahli pengaudit kerugian keuangan negara tidak adil dalam sidang kasus korupsi impor gula.
Kejadian ini berlangsung saat Auditor Ahli Muda Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Chusnul Khotimah, sedang menjelaskan proses perhitungan kerugian negara terkait perbedaan harga gula kristal putih (GKP) dan gula kristal mentah (GKM).
Perdebatan di persidangan mengenai perhitungan kerugian negara
Pengacara terdakwa mempertanyakan penggunaan harga GKM yang lebih murah dibandingkan GKP, karena menurutnya ada biaya-biaya produksi yang tidak diperhitungkan dalam penghitungan kerugian tersebut.
Pengacara berpendapat, harga GKM yang lebih rendah disebabkan oleh statusnya sebagai bahan mentah yang harus melalui proses produksi kembali agar bisa dijual. Namun, mereka menilai biaya-biaya ini tidak termasuk dalam perhitungan BPKP.
“Di mana saudara ahli sendiri kan juga tidak melihat berapa harga GKP pada saat itu, hanya berdasarkan harga GKM. Tapi, saudara ahli tidak fair karena tidak memperhitungkan biaya produksi yang dilakukan perusahaan rafinasi,” ujar pengacara dalam persidangan.
Baca juga: Ahmad Ali Pindah ke PSI, Posisi Strategis Menanti
Reaksi hakim dan proses klarifikasi
Hakim Ketua Dennie Arsan memberikan peringatan keras kepada pengacara tersebut, menyatakan, “Kalau tidak sependapat, tidak perlu menyatakan ahli tidak fair ya,”. Pengacara terdakwa kemudian meminta maaf, sementara hakim mempersilakan mereka mengajukan ahli sendiri jika tidak sepakat dengan pendapat ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum.
Hakim mengingatkan, “Ajukan ahli saudara sendiri. Ya, ini ahli kita hargai, bagaimanapun, kalau tidak sependapat, itulah pengetahuan yang ahli berikan di persidangan untuk sama-sama kita hargai.”
Setelah mendapat teguran, Chusnul Khotimah memberi penjelasan bahwa faktor biaya produksi diketahui, tetapi tidak dihitung karena metode penghitungan berbeda. Ia menegaskan, BPKP menghitung kerugian berdasarkan periode penyimpangan, yaitu saat impor ilegal terjadi.
“Harus diperhatikan metode yang kami gunakan. Kami tidak menggunakan harga pokok dari proses pengolahan GKM dan GKP oleh perusahaan karena secara tempus kami tidak di situ. Tempus adalah barang masuk dan sudah ditemukan penyimpangan,” jelasnya.
Baca juga: Dapur Program MBG Larang Penggunaan Produk Pabrikan
Ancaman kerugian negara dan perkembangan kasus hukum
Kasus ini terkait dugaan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar, melibatkan sembilan terdakwa dari berbagai perusahaan. Sebelumnya, salah satu terdakwa, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh pengadilan, namun kemudian dibebaskan setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi pada 1 Agustus 2025.
Saat ini, ada 10 terdakwa yang diduga terlibat dalam kasus impor gula, termasuk sembilan yang masih menjalani proses hukum. Selain itu, mantan Direktur PT PPI, Charles Sitorus, telah dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dalam kasus yang sama.
Para terdakwa lain yang saat ini menjalani proses persidangan meliputi Direktur Utama PT Angels Products, Tony Wijaya NG; Direktur PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo; dan Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan. Selain itu, ada juga Direktur Utama PT Medan Sugar Industry, Indra Suryaningrat; Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca; serta Presiden Direktur PT Andalan Furnindo, Wisnu Hendraningrat.
Selain itu, Kuasa Direksi PT Duta Sugar International, Hendrogiarto A. Tiwow, dan Direktur PT Berkah Manis Makmur, Hans Falita Hutama, juga terlibat, begitu pula Direktur PT Kebun Tebu Mas, Ali Sandjaja Boedidarmo.
Tags: Kasus Hukum hakim pengadilan negeri Kerugian Negara Transparansi Keuangan korupsi gula pengacara ahli pengaudit