Polri kembali menjadi pusat perhatian karena adanya rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian yang diklaim bersifat independen. Pemerintah juga segera membentuk tim reformasi internal dalam upaya menyesuaikan diri terhadap tuntutan perubahan.
Publik berhak mempertanyakan sejauh mana langkah ini benar-benar sebagai bagian dari reformasi mendalam, atau hanya sekadar upaya politik untuk meredam kemarahan rakyat. Sejarah menunjukkan bahwa reformasi sering kali hanya sebatas perubahan nama tanpa menimbulkan perubahan makna.
Fokus Reformasi: Institusi atau Manusia?
Pertanyaan utama adalah apa yang harus direformasi dalam tubuh Polri. Apakah hanya struktural dan aturan formal, atau juga termasuk kepribadian dan budaya internal aparat? Jika salah sasaran, reformasi hanya akan bersifat kosmetik tanpa mampu mengatasi akar permasalahan.
Data dari Komnas HAM menunjukkan bahwa tingkat aduan masyarakat terhadap Polri tertinggi. Pelanggaran yang dilaporkan termasuk penyiksaan, penggunaan kekerasan berlebihan, hingga penembakan di luar prosedur hukum. Amnesty International bahkan menyebut praktik penyiksaan oleh polisi di Indonesia sebagai “ancaman serius terhadap kemanusiaan”.
Situasi ini menunjukkan krisis kepercayaan terhadap aparat kepolisian. Jika polisi lebih ditakuti daripada dipercaya masyarakat, apa makna dari jargon “pelindung, pengayom, pelayan masyarakat”?
Kendala dan Tantangan dalam Reformasi Polri
Sering kali, reformasi di Indonesia lebih difokuskan pada aspek hukum, struktur, dan prosedur. Namun aturan yang bagus tidak akan efektif kalau dipegang oleh manusia yang memiliki niat buruk. Recrutmen yang tidak bersih, promosi berbasis patronase, dan budaya kekerasan yang diwariskan dari generasi ke generasi menjadi penghalang utama.
Sebagaimana dikemukakan oleh David H. Bayley dalam bukunya “Changing the Guard”, demokratisasi kepolisian memerlukan penanaman budaya pelayanan publik, bukan budaya kekuasaan. Di Indonesia, kultur loyalitas kepada atasan sering kali lebih kuat daripada komitmen kepada hukum dan keadilan.
Selain itu, memperbaiki sikap dan etika polisi tanpa memperkuat mekanisme pengawasan justru akan sia-sia. Struktur kelembagaan yang buruk cenderung menimbulkan rutinitas buruk, terlepas dari niat baik individu di dalamnya, sebagaimana ditegaskan oleh Peter K. Manning.
Oleh karena itu, reformasi yang efektif harus bersifat kombinatif, yakni reformasi institusional sekaligus peningkatan sikap dan kultur personel kepolisian, bukan memilih salah satu secara eksklusif.
Baca juga: Muktamar PPP Ricuh Usai Pemilihan Aklamasi Ketua Umum
Risiko dan Dinamika dalam Pembentukan Komite Reformasi
Pembentukan Komite Reformasi dan tim internal Polri mengandung risiko besar, termasuk pertarungan legitimasi mengenai siapa yang berhak menentukan arah reformasi. Jika tidak dikelola dengan baik, keduanya bisa saling bersaing dan ini berpotensi memperlemah proses reformasi.
Reformasi yang hanya bersifat seremonial dan pencitraan berpotensi menghasilkan hasil instan yang tidak bertahan lama. Selain itu, kurangnya transparansi dalam laporan sanksi disiplin juga menjadi penghambat utama reformasi yang sejati.
Untuk keberhasilan, diperlukan peta jalan reformasi nasional yang jelas, meliputi siapa yang bertanggung jawab, target waktu, indikator keberhasilan, dan mekanisme evaluasi yang terbuka untuk publik.
Baca juga: Presiden Prabowo Kembali dari Kunjungan Diplomatik Empat Negara
Menuju Kepolisian yang Demokratis dan Akuntabel
Konsep demokratisasi kepolisian menekankan bahwa aparat harus bekerja di bawah kendali sipil dengan menghormati hak asasi manusia dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan sekadar kepada negara. Teori “The New Public Service” menyatakan bahwa pelayanan publik harus menempatkan warga sebagai pemilik kedaulatan, bukan sekadar klien.
Reformasi budaya organisasi juga sangat penting, karena perubahan struktur harus diiringi dengan perubahan kultur. Tanpa paradigma ini, reformasi cenderung bersifat kosmetik, tidak mampu mengatasi akar permasalahan.
Reformasi sejati tidak dapat sepenuhnya mengandalkan polisi sendiri atau janji pemerintah semata. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol proses reformasi menjadi kunci utama agar perubahan benar-benar menyentuh keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Jika tidak, risiko kebangkitan kembali reformasi bersifat simbolis dan tidak berkelanjutan sangat besar, sementara rakyat tetap menjadi korban dari sistem yang belum berbenah sepenuhnya.
Tags: Polri Reformasi Kepolisian Budaya Organisasi Pengawasan Polri Demokratisasi Polisi