Peneliti dari Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Edna Caroline Pattisina, menyatakan bahwa rencana pemerintah memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista) perlu dilakukan secara selektif. Hal ini terkait dengan proyeksi anggaran pertahanan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang sebesar Rp 185 triliun, mengalami penurunan Rp 62 triliun dari outlook 2025 yang mencapai Rp 247,5 triliun.
Edna menjelaskan, dari total anggaran tersebut, sekitar 31 persen dialokasikan untuk kesiapan operasi, peningkatan fasilitas prajurit, pengadaan dan pemeliharaan alutsista strategis, serta pembangunan sarana dan prasarana pertahanan. Ia menegaskan bahwa dengan keterbatasan anggaran ini, pembelian alutsista seperti pesawat tempur dan kapal perang harus dilakukan secara lebih selektif.
Baca juga: Prabowo Tertawa Mengenang Sindiran Trump di PBB
Pemilihan Alutsista dan Dampaknya
Beberapa alat utama sistem senjata yang direncanakan akan dibeli pemerintah mencakup pesawat tempur Rafale, kapal induk Garibaldi, dan jet tempur Chengdu. Dengan anggaran yang ada, diperkirakan hanya tersisa sekitar Rp 57,35 triliun untuk berbagai kebutuhan strategis lainnya. Harga satu unit pesawat Rafale sendiri diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,6 triliun.
"Sebenarnya, kalau ditanya cukup atau enggak, ya agak diragukan. Yang dikhawatirkan, kalau terlalu fokus ke alutsista, tapi ada yang dikorbankan demi beli alutsista," ujar Edna.
Selain biaya pembelian awal, ia menyoroti risiko biaya perawatan dan pemeliharaan (harwat) jangka panjang. Contohnya, pembelian kapal induk Garibaldi yang berusia lebih dari 40 tahun berpotensi menambah beban biaya perawatan selama bertahun-tahun.
Sementara itu, pemerintah tengah membentuk Batalyon Tempur Pertahanan (YTP) yang direncanakan akan menambah hingga 100 batalion organik setiap tahun selama lima tahun ke depan. "Pembentukan YTP ini tidak hanya berkonsekuensi pada gaji, tetapi juga terhadap fasilitas pendukung seperti asrama, rumah sakit, dan seragam," kata Edna.
Baca juga: Polisi Gagalkan Enam Puluh Warga Negara Ilegal yang Akan Berangkat ke Malaysia
Perencanaan Jangka Panjang dan Risiko Fokus Berlebihan
Edna mengingatkan bahwa inti persoalan bukan semata soal kecukupan anggaran, melainkan apakah rencana pembelian alutsista sudah didasarkan pada perencanaan strategis jangka panjang. Ia menyatakan, alutsista adalah sistem lengkap, bukan sekadar alat utama. Mulai dari pengoperasian, pengawakan, harwat, hingga integrasi dan basis doktrin harus terkoordinasi dengan baik.
Ia juga memperingatkan risiko jika pemerintah terlalu fokus pada pengadaan alutsista tapi mengabaikan aspek lain, seperti latihan gabungan TNI. "Dalam 10 tahun terakhir ini kapan latihan gabungan TNI terakhir? Apakah latihan AL, AD, dan AU sudah maksimal? Kalau latihan berkurang, ini akan mempengaruhi profesionalisme TNI," tambahnya.
Menurut Edna, pemerintah perlu menyeimbangkan modernisasi alutsista dengan kebutuhan operasional dan latihan prajurit agar kekuatan pertahanan nasional tetap efektif dan berdaya saing.
Diketahui, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengajukan anggaran sebesar Rp 187,1 triliun untuk Kemhan dan TNI pada tahun 2026. Anggaran tersebut diarahkan untuk pembangunan kekuatan TNI, pembayaran gaji pegawai, serta peningkatan kewaspadaan nasional. Sjafrie menegaskan pentingnya penguatan kekuatan pertahanan sekaligus antisipasi dinamika global yang berpengaruh terhadap kawasan regional agar tidak berdampak negatif terhadap situasi nasional.