Bangsa Indonesia mengenang tanggal 30 September sebagai hari bersejarah penuh makna. Peristiwa ini mencakup pidato penting Presiden pertama Indonesia, Soekarno, di Majelis Umum PBB tahun 1960, dan tragedi berdarah Gerakan 30 September oleh PKI pada 1965.
Pada 1960, Bung Karno berpidato berjudul “To Build the World Anew” di hadapan dunia saat ibukota New York. Dalam masa Perang Dingin, dia menawarkan Pancasila sebagai jalan ketiga di tengah dua ideologi besar, liberalisme dan komunisme. Ia mengedepankan keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan sebagai alternatif idealisme blok kekuasaan.
Pidato ini kini diakui UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World, menandakan nilai sejarahnya yang melampaui zaman. Tetapi, lima tahun kemudian, Indonesia terpukul oleh pemberontakan berdarah G30S/PKI yang berusaha menggulingkan pemerintahan Soekarno dan mengganti dasar negara Pancasila dengan komunisme. Peristiwa ini membawa korban, merobohkan persatuan bangsa, dan meninggalkan trauma panjang.
Ironi sejarah terungkap. Di panggung internasional, Soekarno mempromosikan Pancasila sebagai ideology global. Namun di dalam negeri, existensinya justru digugat oleh anak bangsa sendiri. Keduanya mencerminkan ujian besar terhadap kekuatan bangsa Indonesia dalam menjaga Pancasila, bukan sekadar slogan melainkan fondasi bangsa.
Tantangan zaman terus muncul. Jika dahulu ancaman datang dari luar negeri melalui ideologi asing, kini Pancasila dikuji oleh praktik bangsa sendiri. Sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tetap menjadi janji yang belum sepenuhnya terwujud. Ketimpangan sosial dan ekonomi masih nyata. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan hukum masih belum merata.
Menurut Buya Syafii Maarif, “Sila Kelima Pancasila Menjadi Yatim Piatu Sejak Awal Kemerdekaan,” dan kenyataan tersebut tetap berlaku. Akses keadilan dan kesejahteraan makin timpang. Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memperparah ketimpangan tersebut. Meski reformasi 1998 menargetkan pemberantasan KKN, praktik tersebut justru makin merajalela, bahkan beberapa tokoh reformasi lebih menjadi bagian dari pelaku KKN.
Reformasi seharusnya membawa demokrasi bersih, adil, dan berpihak pada rakyat. Tapi kenyataannya, demokrasi kini sering terjebak politik uang, transaksi kekuasaan, dan polarisasi sosial. Cita-cita untuk menyejahterakan rakyat pun tertutup oleh pragmatisme politik dan melemahnya teladan moral dari pemimpin bangsa.
Selama masa lalu, tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Agus Salim menunjukkan nilai-nilai keteladanan dalam kepemimpinan dan politik. Mereka membuktikan bahwa politik sejatinya adalah pengabdian, bukan hanya perebutan kekuasaan. Sayangnya, teladan tersebut kini semakin jarang kita temui.
Untuk mengatasi kondisi ini, sejumlah langkah perlu dilakukan. Pertama, menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman nyata dalam kebijakan dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan Pancasila harus berorientasi menanam karakter, bukan hanya hafalan. Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila yang disusun Kementerian Pendidikan dan BPIP tahun 2023 menjadi salah satu pedoman pembelajaran berbasis praktik.
Kedua, elite politik harus berani mencontohkan keteladanan. Hidup sederhana, melawan korupsi, dan berpihak pada rakyat kecil adalah langkah nyata. Praktik ini harus diduplikasi di semua lapisan masyarakat agar menjadi budaya sehari-hari. Ketiga, demokrasi perlu diarahkan pada tujuan substantif, yakni menghasilkan pemerintahan yang benar-benar melayani rakyat.
Partai politik harus berperan sebagai wadah pendidikan politik dan pembentukan kebijakan, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan. Mereka perlu menolak dominasi oligarki dan memperkuat partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan serta memastikan keadilan sosial sebagai sasaran utama.
Sejarah 30 September mengajarkan dua hal penting. Pertama, Pancasila pernah diusulkan sebagai ideologi global dan kedua, pernah menghadapi ancaman serius di dalam negeri namun tetap mampu mempersatukan bangsa. Di tengah dinamika dunia saat ini, tantangan terbesar adalah konsistensi bangsa dalam menjadikan Pancasila sebagai pedoman nyata terutama sila kelima tentang keadilan sosial.
Jika diabaikan, Pancasila hanya akan menjadi retorika tahunan. Tapi jika dijaga, Pancasila akan tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi bangsa dan dunia dalam mewujudkan demokrasi berkeadilan sosial serta sebagai dasar dan jalan menuju Indonesia yang lebih baik.
Tags: Politik Indonesia Reformasi Keadilan Sosial Pancasila Sejarah Indonesia