Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menegaskan, sistem pertahanan semesta yang diusung Presiden Prabowo Subianto adalah kebutuhan strategis bangsa untuk menghadapi dinamika global.
Menurut Said, Indonesia tidak boleh hanya puas sebagai kekuatan militer di ASEAN. Pertahanan nasional harus benar-benar kokoh, mampu menangkal berbagai ancaman konvensional maupun nonkonvensional.
“Sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional menjadi modal penting untuk membangun pertahanan yang kuat,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).
Pelaksanaan sistem ini menempatkan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama di bidang pertahanan dan keamanan, didukung partisipasi aktif masyarakat melalui pelatihan bela negara.
Said menambahkan, “Sistem pertahanan semesta yang dirumuskan Jenderal Abdul Haris Nasution masih sangat relevan, karena dunia kini tidak hanya mengarah pada perang konvensional, tetapi juga perang politik, ekonomi, budaya, dan siber.”
Dalam perang non-konvensional, Said menyoroti keterbatasan TNI dan Polri. Dukungan rakyat yang terlatih dan profesional di berbagai bidang diperlukan untuk bersinergi dengan kekuatan militer dan kepolisian.
Baca juga: Sidang Praperadilan Nadiem Makarim Digelar Lagi di PN Jaksel
Konteks Global dan Peran Negara
Said mengulas, runtuhnya Uni Soviet pada 1991 menandai berakhirnya blok timur, sehingga blok barat dianggap sebagai penguasa tunggal dunia saat itu.
Banyak ilmuwan memperkirakan dominasi Barat akan memperkuat liberalisasi politik dan ekonomi. Francis Fukuyama bahkan menyebut demokrasi liberal sebagai titik akhir perkembangan ideologi manusia.
Namun, prediksi tersebut terbukti keliru. Meski sosialisme dan komunisme runtuh, dunia tetap bergulat dengan pertentangan ideologi, ekonomi, dan militer.
Pergeseran kekuatan besar terlihat dalam munculnya ideologi berbasis absolutisme agama, perebutan sumber daya alam, aksi terorisme global, dan konflik wilayah.
Contoh nyata seperti Iran dan Afghanistan menunjukkan bagaimana ideologi keagamaan berhadapan langsung dengan AS dan sekutunya.
Sementara itu, Tiongkok mempelajari pelajaran dari bubarnya Uni Soviet. Sejak era Deng Xiaoping pada 1978, Tiongkok mengubah komunisme menjadi lebih fleksibel, dipadukan sistem pasar.
Jiang Zemin dan Hu Jintao melanjutkan strategi ini, menciptakan “hibrida politik” yang menggabungkan komunisme dan kekuatan pasar global.
Dengan strategi ini, Tiongkok membangun aliansi politik melalui ekonomi pasar, seperti BRICS, proyek jalur sutra baru dari Asia Tengah hingga Eropa, dan jalur sutra maritim yang terhubung Indonesia dan Afrika.
Said menyebut, kebangkitan Tiongkok dan Rusia menciptakan poros baru kekuatan dunia, baik politik, ekonomi, maupun militer.
Banyak negara di Asia dan Afrika memilih mendekat ke kedua negara ini, terutama saat kondisi dalam negeri mereka terguncang oleh intervensi Barat.
Contoh lain, Rusia mendukung Rusia saat berperang dengan Ukraina sejak 2022, membantu membeli minyak dan gas, sekaligus mendukung posisi mereka di forum internasional.
Sementara itu, saat Iran berkonflik dengan Israel, Rusia dan Tiongkok membantu lewat suplai senjata dan diplomasi di PBB.
Bahkan, saat Presiden Suriah Bashar al-Assad digulingkan oleh proxy AS, Rusia memberikan perlindungan untuk Assad dan keluarganya.
Kebijakan ini menunjukkan kekuatan internasional bergerak dari dominasi sekutu menuju politik balasan secara pragmatis, bukan lagi ideologi murni.
Said juga mengamati, AS saat ini tidak lagi solid bersama sekutunya, sering berselisih dengan Inggris, Perancis, dan Kanada terkait tarif dan kebijakan dagang.
Penolakan AS terhadap kebijakan Israel dan penyikapan terhadap Palestina dalam kerangka solusi dua negara turut memengaruhi persepsi sekutu dan negara lain.
Baca juga: Eks Direktur Utama PT Taspen Hadapi Sidang Vonis Korupsi
Pentingnya Penguatan Minimum Essential Force (MEF) TNI
Said menekankan, pentingnya memperkuat MEF TNI sebagai alat ukur kesiapan pertahanan minimal sesuai kebutuhan bangsa.
Untuk mencapai target ini, diperlukan pengembangan organisasi, kemampuan industri militer, dukungan anggaran, dan profesionalisme prajurit.
Said menyebut, langkah Menteri Pertahanan Prabowo saat ini sudah menunjukkan perkembangan positif. Ia menyebut, telah dibentuk 6 Kodam baru, 14 Kodal, dan satu Kodau, serta berbagai unit militer lainnya.
“Kekuatan pertahanan konvensional tetap penting untuk memastikan TNI mampu memenuhi kebutuhan dasar pertahanan secara ideal,” katanya.
Selain penguatan organisasi, industri pertahanan nasional harus mandiri. PT PAL, PT Pindad, dan pengembangan pesawat tempur KF-21 Boramae dari Korea Selatan menjadi contoh keberhasilan.
“Industri pertahanan nasional harus diperkuat agar kita tidak bergantung pada pihak luar,” tegas Said.
Secara anggaran, Said memastikan, DPR akan tetap mendukung kebutuhan TNI untuk mencapai MEF. Namun, anggaran pertahanan Indonesia masih rendah dibandingkan negara dengan kekuatan militer canggih.
“Defend Budget Rank 2025 dari Global Firepower menempatkan Indonesia di posisi 29, di bawah Singapura di posisi 26. Ini belum ideal. Ke depan, kita harus memperkuat anggaran sejalan dengan penyehatan fiskal,” ujarnya.
Said pun menekankan pentingnya profesionalisme TNI. Prajurit harus netral dari politik praktis dan mampu menjalankan tugas pertahanan secara mandiri dan disiplin.
Ia menegaskan, prajurit Indonesia memiliki kemampuan tempur terlatih, disiplin, loyal, dan setia pada janji sapta marga. Sistem merit yang ketat dan prestasi menjadi dasar kenaikan pangkat.
Said mengakhiri pernyataannya dengan penghormatan kepada TNI yang kini memasuki usia 80 tahun. “Bravo, Dirgahayu TNI. Jadilah patriot bangsa yang gagah berani,” katanya.
Tags: TNI pertahanan nasional Rakyat Indonesia Global Geopolitik Poros Baru Dunia