Jakarta, Kompas.com - Dua puluh satu tahun lalu, Gus Dur, tokoh karismatik dan pejuang pluralitas, pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden Indonesia. Sayangnya, pencalonannya gagal karena alasan kesehatan yang menyebabkan ia tidak memenuhi syarat fisik sebagai calon pemimpin negara. Saat itu, Gus Dur diketahui harus dituntun saat berjalan dan penglihatannya hampir buta.
Adapun keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu menuai kritik keras. IDI menyatakan Gus Dur tidak mampu secara fisik menjalankan tugas sebagai presiden, yang dinilai melampaui kewenangan mereka karena tidak berhak menghakimi kemampuan fisik seseorang. Gus Dur menerima keputusan tersebut dengan lapang dada, namun menilai tindakan itu mencoreng demokrasi asli Indonesia. Dia menyebut, demokrasi tidak seharusnya menutup hak warga dengan keterbatasan fisik untuk menjadi calon maupun memilih.
Saat itu, Gus Dur tegas menyampaikan, "Ada yang menjegal saya jadi calon presiden, sebab saya telah mengubah status quo. Demokrasi di Indonesia akan berjalan kalau dua hal, yaitu, kedaulatan hukum ditegakkan, semua orang patuh pada peraturan. Kedua, adanya persamaan perlakuan bagi setiap warga negara. Dengan dua hal tersebut demokrasi akan berjalan dan kebobrokan mereka akan terbongkar. Mereka takut saya jadi presiden," ujar Gus Dur yang dipublikasi NU pada 8 Juni 2004.
Baca juga: Kejagung Pastikan Pencabutan Paspor Tidak Hapus Kewarganegaraan
Perjuangan dan Realitas Disabilitas di Indonesia
Menurut anggota Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Muthmainnah, insiden tersebut mencerminkan adanya beragam kepentingan yang menghambat hak konstitusional Gus Dur. Meski demikian, setelah 21 tahun, demokrasi di Indonesia belum secara penuh memberi ruang bagi sosok seperti Gus Dur untuk maju. Dari aspek fisik saja, banyak penyandang disabilitas yang merasakan hal serupa.
Walaupun regulasi telah diperbaiki, kaum minoritas ini belum mendapatkan afirmasi yang cukup. "Disabilitas yang lain juga bisa melakukan hal yang sama seperti Gus Dur, tetapi selama mereka tidak diberikan kesempatan, kita tidak memiliki ruang untuk bisa melakukan pembuktian," ujar Asri.
Data dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tahun 2023 menyebutkan, sekitar 8,5 persen dari penduduk Indonesia, sekitar 22,98 juta jiwa, adalah penyandang disabilitas. Akan tetapi, angka besar ini belum diikuti dengan akses politik dan representasi yang memadai. Pada Pemilu 2024, KPU mencatat hanya ada 10 calon legislatif disabilitas dari total 9.917 calon di tingkat pusat, dan 668 calon DPD RI, hampir kurang dari 0,1 persen dari total calon.
Sementara itu, jumlah pemilih disabilitas yang terdata mencapai 1.101.178 orang. Rinciannya, 55.421 adalah disabilitas intelektual, 264.594 mental, 482.414 fisik, dan 298.749 sensorik yang terdiri dari 126.880 sensorik wicara, 52.526 sensorik rungu, dan 119.343 sensorik netra.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Baca juga: Pertemuan Jokowi dan Prabowo Dinilai Membangun Kebersamaan Nasional
Kesenjangan Representasi dan Upaya Afirmasi
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa warga negara disabilitas masih dianggap warga tertinggal. Asri menegaskan, jika negara berpegang pada falsafah bahwa tak boleh ada warga yang tertinggal, maka diperlukan afirmasi dan langkah nyata agar mereka bisa terwakili.
Perwakilan yang mewakili kepentingan penyandang disabilitas penting agar kebijakan dan regulasi benar-benar memperhatikan hak mereka. "Karena kalau tidak ada yang mewakili kepentingannya, akan selalu tertinggal, ini pemikiran sederhananya," ujarnya.
Salah satu cara yang diusulkan adalah memasukkan keberpihakan khusus dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang sedang digodok di DPR, termasuk penetapan kuota calon legislatif disabilitas. Asri mencontohkan, kuota ini bisa diibaratkan seperti kebijakan kuota perempuan di parlemen, yang meskipun kontestatif tetap memberi ruang bagi perempuan untuk maju.
Namun, regulasi saja dinilai belum cukup. Kendala lain muncul dari kendaraan politik, yakni partai politik, yang cenderung memilih calon berdasarkan elektoral dan kurang inklusif terhadap disabilitas. Direktur Perludem Heroik Mutaqin menyebut perlu adanya dorongan agar partai politik lebih terbuka dan ramah disabilitas dalam proses rekrutmen dan pencalonan.
Heroik menambahkan, "Kita perlu mendorong partai politik kita dalam konteks rekrutmennya, itu jauh lebih ramah. Dan ada penerapan afirmasi di internal partai, dalam melakukan pencalonan bagi teman-teman disabilitas itu. Dan dalam konteks jumlah kan signifikan juga kan, itu dari segi pencalonan," Jumat (26/9/2025).
Fatimah Asri Muthmainnah kembali mengingatkan, perlu dukungan lebih luas dan nyata untuk calon legislatif disabilitas agar dapat bersaing dan memperoleh ruang setara dalam pemilihan mendatang. Ia menyatakan, "Ya saya kira bukan sekadar kebijakan yang sifatnya afirmatif saja, yang itu tertera dalam regulasi, tetapi juga ada aturan-aturan tidak tertulis. Ada peraturan tidak tertulis yang itu adalah sebuah bentuk dukungan."
Tags: Disabilitas politik inklusi sosial Reformasi Regulasi Gus Dur