Setiap bulan, Badan Narkotika Nasional (BNN) rutin menggelar konferensi pers yang fokus pada pengungkapan kasus dan pemusnahan barang bukti narkotika. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah barang bukti yang disita berkisar antara setengah hingga dua ton, menggambarkan betapa besar dan beragamnya peredaran gelap narkoba di Indonesia.
Kasus-kasus narkotika yang diungkap BNN tersebar dari berbagai wilayah dan menunjukkan variasi modus operandi serta jaringan yang terlibat. Hal ini menegaskan bahwa isu narkotika di Indonesia terus menjadi tantangan yang kompleks dan tidak pernah surut.
Badannya merilis data terbaru mengenai pengungkapan narkotika pada September 2025 dan bulan-bulan sebelumnya, memperlihatkan besarnya volume narkoba yang masuk ke Indonesia dari luar negeri. Barang bukti tersebut meliputi 500 kilogram narkotika dari berbagai jenis seperti sabu, ganja, ekstasi, kokain, hingga cairan ganja sintetis, yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar besar bagi berbagai jenis narkotika.
BNN juga mengungkapkan berbagai modus operandi yang digunakan, seperti penyelundupan narkoba yang disembunyikan dalam botol facial wash yang dikirim dari Malaysia, serta jaringan kurir yang dikendalikan dari berbagai pulau. Selain itu, ditemukan pula laboratorium rahasia (clandestine lab) sabu di Bantul, Yogyakarta, yang menambah panjang daftar tantangan dalam memerangi peredaran narkotika.
Di luar Jawa, di Bali, warga negara asing kembali tertangkap karena terlibat dalam penyelundupan narkotika. Fakta ini menegaskan bahwa peredaran narkotika bukan hanya masalah domestik, melainkan sudah menjadi jaringan kriminal internasional yang berpengaruh di Indonesia.
Baca juga: Kerja Sama Antara Kejaksaan dan Kementerian PKP Tingkatkan Pembangunan Perumahan
Permasalahan Sosial-Ekonomi yang Memperparah Krisis Narkotika
Perkara narkotika lebih dari sekadar pelanggaran hukum. Ia menjadi persoalan sosial dan ekonomi yang kompleks dan terkait erat dengan isu sosial lainnya. Tiga bulan lalu, BNN mengungkapkan bahwa beberapa kasus melibatkan perempuan dan ibu rumah tangga, menunjukkan bahwa masalah ini menyentuh semua lapisan masyarakat.
Salah satu cerita mengejutkan datang dari Aceh, di mana seorang ibu rumah tangga menerima tawaran dari tetangganya untuk menyelundupkan narkoba jenis sabu dengan cara disembunyikan di alat vitalnya. Ia mengaku melakukannya karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, karena pendapatan suaminya sebagai sopir truk sangat kurang. Suaminya harus pergi meninggalkan rumah berhari-hari untuk mengantarkan barang dari Sumatera ke Jawa.
Cerita lain menunjukkan bahwa tekanan ekonomi memaksa banyak kalangan, termasuk anak muda, untuk terjerat dalam siklus kejahatan narkotika. Di Aceh, ladang ganja menjadi sumber penghidupan utama warga dengan alternative pekerjaan yang terbatas, sehingga mereka rentan terbawa ke dalam dunia narkotika.
Ahli kriminologi memperingatkan bahwa pencegahan narkoba tidak cukup hanya dengan tindakan hukum seperti razia dan penangkapan. Pendekatan yang lebih komprehensif sangat diperlukan, termasuk analisis jaringan sosial yang dikenal dengan Social Network Analysis (SNA), untuk memetakan aktor-aktor dalam jaringan narkoba, mulai dari kurir, bandar, pengendali, hingga broker yang menghubungkan jaringan lokal dan internasional.
Salah satu contoh pengungkapan BNN adalah kasus jaringan Riau-Madura yang memperlihatkan pola hub-and-spoke: seorang bandar besar di Madura mengendalikan kurir di Sumatera dan daerah lain, menunjukkan bahwa sistem peredaran narkoba di Indonesia didasarkan pada struktur yang kompleks dan panjang.
Karena itu, penegakan hukum saja tidak cukup untuk memberantas peredaran narkoba. Strategi harus mencakup pemutusan aktor-aktor penting dalam jaringan, termasuk optimalisasi penelusuran dan penyitaan aset hasil kejahatan.
Baca juga: Brigade Parako 2 TNI AU Ikut Perayaan HUT ke-80
Upaya Pencegahan dan Rehabilitasi sebagai Solusi Lain
Selain penindakan hukum, pendekatan pencegahan berbasis masyarakat dan rehabilitasi kesehatan harus menjadi bagian dari strategi nasional mengatasi narkotika. Teori kontrol sosial yang dikemukakan Hirschi (1969) menjelaskan bahwa ikatan sosial—keluarga, sekolah, dan komunitas—berfungsi sebagai alat pengendali agar individu tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang.
Program penguatan ikatan sosial berbasis komunitas, seperti Desa Bersinar (Desa Bersih Narkoba), diharapkan mampu memperkuat “rem” tersebut. Program ini harus diimplementasikan sesuai dengan nilai, situasi sosial, karakter, dan sumber daya masyarakat setempat agar efektif menyentuh akar permasalahan, seperti kemiskinan dan rendahnya pendidikan.
Jika tidak, upaya seperti pengungkapan kasus yang sering dilakukan hanya akan menjadi solusi sementara dan tidak menyentuh akar masalah yang menyebabkan masyarakat terjerumus ke dalam jaringan narkotika, terutama karena tekanan ekonomi yang mendesak.
Secara umum, peredaran narkota di Indonesia menunjukkan pola dan struktur yang makin panjang dan rumit, menuntut penanganan yang multidimensi. Pendekatan hukum harus diperkuat dengan strategi pencegahan sosial dan rehabilitasi, serta pemberdayaan masyarakat, agar upaya pemberantasan narkoba dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.
Tags: Penegakan Hukum narkotika kesejahteraan sosial pencegahan narkoba jaringan kriminal internasional