Pemilik PT Lawu Agung Mining (PT LAM), Windu Aji Sutanto saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025)

Putusan Pengadilan Batalkan Kasus TPPU Mantan CEO PT LAM

24 Sep 2025 | Reynaldo Putra | Berita | Berita Nasional

Pengadilan memutuskan bahwa kasus TPPU yang dihadapi Windu Aji dan Glenn merupakan pengulangan dari kasus korupsi sebelumnya, sehingga tidak berdampak pada hukuman baru. Mereka terbukti melakukan korupsi di tambang ore nikel Sulawesi, merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada Windu Aji Sutanto, pemilik PT Lawu Agung Mining (PT LAM), dan Glenn Ario Sudarto, pelaksana lapangan perusahaan tersebut, dalam kasus tindak pidana pencucian uang terkait kasus korupsi tambang ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Hakim menilai bahwa perkara TPPU yang dihadapi keduanya memiliki asas ne bis in idem, yang berarti bahwa perkara yang sama tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan jika telah diputus sebelumnya. Dalam amar putusannya, Hakim Ketua Sri Hartati menyatakan, "Mengadili, menyatakan terdakwa Windu Aji Sutanto ne bis in idem."

Dalam sidang tersebut, hakim menegaskan bahwa kasus TPPU yang disidangkan di Pengadilan Tipikor ini adalah pengulangan dari kasus korupsi sebelumnya yang menjerat mereka. Majelis hakim berpendapat bahwa dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus TPPU memiliki dasar dan pokok perkara yang sama dengan kasus korupsi awal yang telah diputuskan sebelumnya. Bukti-bukti yang sebelumnya dipertimbangkan juga digunakan dalam sidang, dan vonis terhadap terdakwa sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Dalam konteks hukum, asas ne bis in idem merupakan perlindungan yang menjamin bahwa seseorang tidak bisa diadili dua kali atas perbuatan yang sama. Oleh karena itu, kedua terdakwa, Windu dan Glenn, dinyatakan tidak dapat diproses kembali di pengadilan terkait perkara TPPU ini.

Sebelumnya, Jaksa menuntut Windu untuk dihukum selama enam tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta dengan subsider tiga bulan penjara. Sedangkan Glenn didakwa dengan pidana lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta, dengan subsider penjara selama enam bulan. Keduanya dinilai melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus korupsi yang melibatkan Windu Aji, Glenn, dan seorang terdakwa lainnya, Ofan Sofwan, yang merupakan direktur PT LAM, telah berhasil diadili di pengadilan. Pada 25 April 2024, mereka terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Dalam putusan tersebut, Windu dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, Glenn mendapat vonis 7 tahun, dan Ofan dihukum 6 tahun penjara. Mereka juga dikenai hukuman denda Rp 200 juta, subsider dua bulan penjara.

Sementara itu, Windu juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 135,8 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, digantikan dengan penjara selama dua tahun. Setelah menjalani proses banding, hukuman Windu diperberat menjadi 10 tahun penjara, sedangkan Glenn dan Ofan hukuman tetap masing-masing 7 dan 6 tahun. Ketiganya juga harus membayar denda sebesar Rp 500 juta, subsider enam bulan penjara, serta mengikuti ketentuan uang pengganti yang berlaku.

Selain itu, Windu mendapatkan remisi sebanyak 8 bulan saat mengajukan pengurangan masa tahanan, terdiri dari remisi umum selama 5 bulan dan remisi dasawarsa selama 3 bulan yang diberikan setiap sepuluh tahun. Saat ini, ketiga terdakwa sedang mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) terhadap putusan tersebut. Pada Agustus 2025, Windu memperoleh remisi tambahan sehingga jumlah surat remisi yang diterima hingga kini berjumlah 8 bulan.

Baca juga: DPR Desak Sanksi Tegas untuk Pelaku Kekerasan Aparat Hukum

Perkara Kasus dan Modus Operasi Korupsi

Dalam dakwaan, terdakwa dinilai menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaan yang diperoleh dari penjualan ore nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Antam, Tbk, di Blok Mandiodo-Lasolo-Lalindu, Sulawesi Tenggara. Hasil penjualan ini, menurut jaksa, merupakan bagian dari tindak pidana korupsi karena dilakukan melalui rekayasa yang merusak keabsahan transaksi tersebut.

Jaksa juga menjelaskan, Glenn mendirikan PT LAM bersama Tan Lie Pin sesuai akta pendirian tertanggal 21 Januari 2020. Glenn menjabat sebagai direktur, sementara Tan Lie menjadi komisaris. Sementara itu, Windu yang merupakan salah satu pemegang saham PT Khara Nusa Investama membeli sebanyak 1.900 lembar saham PT LAM, bernilai Rp 1 juta per lembar, sehingga perusahaan tersebut dikuasai 95 persen oleh PT Khara Nusa Investama.

PT LAM tergabung dalam Kerja Sama Operasi Mandiodo-Tapunggaya-Tapumea yang dikelola PT Antam. Dalam pelaksanaannya, Glenn sebagai pelaksana di lapangan disebut melakukan aktivitas penambangan dan penjualan ore nikel secara ilegal, yang seharusnya diserahkan langsung ke PT Antam berdasarkan peraturan. Namun, hasil penambangan tersebut diduga diolah dan dijual secara ilegal dengan menggunakan dokumen palsu, serta menyembunyikan hasil penjualan dengan mendirikan rekening atas nama orang lain dan melakukan transfer uang ke rekening tersebut.

Total nilai penjualan ore nikel ilegal ini mencapai Rp 135,8 miliar. Uang hasil penjualan tersebut, menurut jaksa, dikirim ke rekening atas nama Supriono dan Opah Erlangga Pratama, yang kemudian sebagian besar diambil tunai dan sisanya ditransfer ke rekening PT LAM. Tindakan ini diyakini sebagai usaha mengaburkan asal usul kekayaan yang diperoleh dari kegiatan ilegal tersebut.

Operasi ini menunjukkan adanya rekayasa yang sengaja dilakukan untuk mengaburkan sumber penghasilan dari ore nikel yang tidak sesuai prosedur, serta penggunaan dokumen palsu dan rekening atas nama orang lain untuk menyembunyikan aliran uang hasil kejahatan tersebut.

Tags: Kejaksaan Korupsi TPPU Penegakan Hukum pengadilan Jakarta Ore Nikel

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan