Mahkamah Agung memutuskan membatalkan putusan bebas atau ontslag terhadap tiga perusahaan dalam kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Keputusan ini diambil setelah majelis hakim agung memutuskan untuk mengadili sendiri perkara tersebut, meninggalkan keputusan dari pengadilan tingkat pertama yang sebelumnya menyatakan ketiga korporasi tidak bersalah.
Menurut amar putusan yang diunggah pada laman resmi MA, pengadilan tingkat pertama batal dan MA memerintahkan untuk mengadili ulang perkara ini. Sebelumnya, ketiga perusahaan dinyatakan tidak melanggar hukum berdasarkan hasil pengadilan pertama, namun kini terbukti bahwa mereka melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hukuman yang dijatuhkan kepada ketiga perusahaan meliputi pembayaran denda uang pengganti dan ancaman hukuman penjara, jumlahnya secara keseluruhan mencapai Rp 17,7 triliun. Ketentuan tersebut mencakup denda yang harus dibayarkan serta uang pengganti yang disita dan disetor ke kas negara sesuai dengan tingkat kerugian yang berhasil dihitung.
Baca juga: Kesulitan Polisi Cegah Penjarahan Rumah Pejabat di Demostrasi
Hukuman terhadap korporasi
Untuk PT Wilmar Group, pengadilan memerintahkan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun. Uang tersebut terdiri dari keuntungan tidak sah sebesar Rp 1,69 triliun, kerugian keuangan negara Rp 1,66 triliun, dan kerugian pada sektor usaha serta rumah tangga Rp 8,52 triliun. Sebelumnya, Wilmar telah menyerahkan uang sebesar Rp 11,8 triliun ke Kejaksaan Agung dan uang ini kini diperintahkan untuk disita dan dikembalikan ke kas negara.
Selain dikenai denda sebesar Rp 1 miliar, Wilmar Group juga akan dikenai pidana penjara selama enam bulan jika tidak membayar denda tersebut. Jika uang pengganti tidak terpenuhi, aset perusahaan dapat disita dan dilelang, bahkan aset pribadi pemilik perusahaan dapat disita jika aset perusahaan tidak mencukupi. Pihak pengendali Wilmar, Tenang Parilian Sembiring, berisiko dihukum penjara selama enam bulan tambahan jika tidak membayar.
Pada kasus PT Musim Mas, pengadilan memerintahkan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 4,89 triliun, yang terdiri dari keuntungan tidak sah Rp 626,63 miliar, kerugian keuangan negara Rp 1,11 triliun, dan kerugian sektor usaha dan rumah tangga Rp 3,15 triliun. PT Musim Mas telah menyerahkan Rp 1,19 triliun ke Kejaksaan Agung dan uang tersebut harus disita dan dikembalikan ke kas negara. Jika sisa pembayaran tidak dilakukan, aset perusahaan akan disita dan dilelang, termasuk aset pribadi pemilik jika aset perusahaan tidak mencukupi. Ancaman pidana penjara selama 10 tahun juga berlaku bagi pemilik yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Selanjutnya, PT Nagamas Palmoil Lestari, anak perusahaan PT Permata Hijau Group, dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 937,5 miliar. Uang tersebut berasal dari keuntungan tidak sah Rp 124,42 miliar, kerugian keuangan negara Rp 186,43 miliar, dan kerugian sektor usaha dan rumah tangga Rp 626,71 miliar. Saat ini, PT Nagamas telah menyerahkan Rp 186,43 miliar dan diperintahkan menyelesaikan kekurangan yang ada. Jika tidak, aset perusahaan akan disita, dilelang, bahkan aset pribadi pengendali dapat dikenai sanksi, termasuk pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 1 miliar, serta risiko pidana penjara enam bulan jika tidak membayar denda tersebut.
Baca juga: Mutasi 60 Perwira Tinggi Polri Demi Penyegaran Organisasi
Skandal suap yang melibatkan hakim dan proses hukum selanjutnya
Putusan ini menjadi sorotan karena beberapa waktu setelahnya, ketiga hakim yang mengadili dan memutus perkara ini ditangkap Kejaksaan Agung karena diduga menerima suap dari pihak-pihak terkait. Hakim yang terlibat adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom. Dalam proses penyidikan, Kejaksaan menetapkan beberapa tersangka lain yang diduga terkait pemberian suap, termasuk pengacara dari perusahaan, Ariyanto dan Marcella Santoso.
Para tersangka, termasuk lima hakim dan pegawai pengadilan, didakwa menerima total suap mencapai Rp 40 miliar. Rinciannya, Muhammad Arif Nuryanta menerima Rp 15,7 miliar; Wahyu Gunawan menerima Rp 2,4 miliar; Djuyamto sendiri mendapatkan Rp 9,5 miliar; dan dua hakim lainnya, Ali Muhtarom serta Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Atas suap ini, Djuyamto, Ali, dan Agam memutuskan untuk memberikan putusan bebas kepada ketiga perusahaan korporasi tersebut. Sementara itu, pengacara Ariyanto dan Marcella turut terlibat dalam proses negosiasi dan mencoba mempengaruhi hasil pengadilan agar memutus sesuai keinginan pihak pemberi suap.
Kasus ini menunjukkan kompleksitas kejahatan korupsi dan pengaruhnya terhadap proses peradilan di Indonesia, terutama dalam perkara tindak pidana korupsi dan suap dalam dunia peradilan.
Tags: Kasus Korupsi Mahkamah Agung Perusahaan CPO Skandal Hakim Hukuman Denda