Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dalam KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Palestina di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Senin (22/9/2025) waktu setempat. Prabowo dijadwalkan bertemu Donald Trump dan pemimpin Arab-Muslim di Sidang Umum PBB, bahas masa depan Palestina.

Prabowo Dinilai Tampilkan Diplomasi Asertif di PBB

26 Sep 2025 | Nur Aisyah | Berita | Berita Nasional

Pidato berani Presiden Prabowo di PBB menandai perubahan arah diplomasi Indonesia menjadi lebih aktif dan asertif, dengan strategi transaksional dan komitmen nyata dalam perdamaian dunia.

Dalam Sidang Umum PBB ke-80, Presiden Prabowo Subianto dengan gestur sederhana mengetukkan tangannya di podium, simbol dari langkah politik yang jauh lebih strategis dan bermakna. Momen tersebut tidak sekadar simbol, melainkan gambaran bahwa Indonesia tengah memperjuangkan posisi sebagai aktor global yang tidak lagi berperan pasif, namun aktif dalam dinamika diplomasi internasional.

Pidato yang disampaikan dengan penuh emosi dan penuh tekad Indonesia ini mencerminkan pembaruan kebijakan luar negeri, menempatkan multilateralisme sebagai senjata utama di medan diplomasi, bukan lagi sebatas prinsip normatif yang kerap disuarakan secara diplomatis di forum internasional. Prabowo membuka pidatonya dengan pembelaan yang tegas terhadap PBB, "Kita membutuhkan PBB, dan Indonesia akan terus mendukung PBB," ujarnya, menegaskan komitmennya terhadap organisasi dunia tersebut.

Perlawanan terhadap Skeptisisme Terhadap Multilateralisme

Di tengah meningkatnya skeptisisme terhadap efektivitas organisasi multilateral—dari kepercayaan yang merosot di Amerika Serikat hingga munculnya tantangan unilateralisme di berbagai negara—pidato Prabowo menjadi pernyataan politik yang berani. Ia tidak hanya menyampaikan dukungan, tetapi secara eksplisit menolak logika kekuasaan semata dalam sistem internasional. "Yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka tanggung," kutipnya dari Thucydides, sebelum menegaskan, "Kita harus menolak doktrin ini. Kekuatan tidak bisa menjadi kebenaran, kebenaran haruslah kebenaran." Penolakan terhadap realisme politik ini jarang dilakukan pemimpin negara berkembang, menjadikan sikap Prabowo berbeda dari yang lain.

Di balik retorika idealis tentang multilateralisme, Presiden Prabowo menunjukkan paradigma pragmatis yang lebih transaksi. Salah satu bukti nyata adalah tawarannya untuk mengakui Israel jika mereka mengakui kemerdekaan Palestina, di mana Indonesia akan memberi pengakuan kembali terhadap negara Israel. "Begitu Israel mengakui kemerdekaan dan status negara Palestina, Indonesia akan segera mengakui negara Israel," katanya, menandai evolusi fundamental dalam diplomasi Indonesia di Timur Tengah yang selama ini mempertahankan posisi mendukung penuh Palestina tanpa kompromi.

Baca juga: Kapolri Sigit Tolak Mundur. Prioritaskan Stabilitas Nasional

Diplomasi Transaksional dan Isu Kemanusiaan

Langkah ini mengindikasikan bahwa Indonesia mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel, melihat multilateralisme sebagai arena pertukaran kepentingan. Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah diplomasi transaksional semacam ini tetap murni mencerminkan multilateralisme, atau justru mereduksi isu kemanusiaan menjadi komoditas dagang. Sementara itu, langkah Indonesia ini juga menunjukkan posisi sebagai broker dalam konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, sekaligus memperkenalkan elemen insentif dalam negosiasi politik.

Kritikus berpendapat bahwa langkah ini bisa jadi melemahkan moral perjuangan Palestina dan memperlihatkan bahwa keadilan dan hak asasi manusia bisa dipertukarkan dalam diplomasi. Namun, bagi Prabowo, kombinasi idealisme dan kekuatan nyata diwujudkan melalui tawaran mengerahkan 20.000 pasukan penjaga perdamaian PBB, menunjukkan komitmen Indonesia secara konkret dalam menjaga stabilitas global.

Penggabungan soft power melalui diplomasi dan hard power melalui kekuatan militer ini menandai perubahan strategi diplomasi Indonesia dalam kancah internasional. Kontribusi tersebut tidak sekadar retorika, melainkan menunjukkan keinginan Indonesia untuk meningkatkan pengaruh dan peran sebagai kekuatan yang mampu memberi dampak nyata dalam penyelesaian konflik.

Baca juga: Revisi UU BUMN Berpotensi Tornado Kepentingan dan Transparansi

Reaksi Internasional dan Tantangan Kedepan

Pidato Presiden Prabowo menimbulkan perhatian luas di dunia internasional, mendapatkan liputan media global dan pujian dari sejumlah pemimpin dunia. Keseriusan Indonesia dalam menawarkan peran aktif di panggung global menjadi perbincangan utama, menandai langkah awal untuk menempatkan Indonesia sebagai pemain utama dalam diplomasi internasional.

Namun, tantangan terbesar masih menanti. Komitmen terhadap tawaran mengerahkan pasukan perdamaian harus direalisasikan secara nyata, dan tidak sekadar menjadi pernyataan politik. Pengelolaan isu Israel-Palestina juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan backlash domestik yang dapat mengganggu stabilitas politik dalam negeri.

Selain itu, keberhasilan langkah ini juga bergantung pada konsistensi implementasi kebijakan dan pengelolaan isu dalam negeri yang tetap stabil. Pendekatan asertif dan ambisius dalam kebijakan luar negeri menandai era baru Indonesia yang lebih aktif dan berani, namun keberhasilannya akan sangat bergantung pada komitmen jangka panjang.

Sejauh mana Indonesia mampu mewujudkan janji-janji besar ini akan menjadi penentu apakah momentum ini akan tercatat sebagai titik balik dalam sejarah diplomasi Indonesia atau hanya sekadar euforia sesaat. Yang pasti, Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa berada di dalam panggung politik global bukan lagi sekadar menjadi penonton yang sopan, melainkan aktor yang berdaya dan berpengaruh.

Tags: Indonesia Diplomasi PBB Kebijakan Luar Negeri Pragmatism

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan