Ilustrasi

Revisi UU BUMN Berpotensi Tornado Kepentingan dan Transparansi

26 Sep 2025 | Reynaldo Putra | Berita | Berita Nasional

Revisi UU BUMN memicu pertanyaan besar terkait konsistensi dengan prinsip tata kelola aset publik dan putusan MK, serta dampaknya terhadap keuangan negara dan kepercayaan publik.

Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) kembali menjadi sorotan publik dan kalangan politik setelah disahkan pada 24 Februari lalu sebagai perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003. Seiring waktu berjalan, DPR dan pemerintah sepakat untuk menggodok reinterpretasi undang-undang tersebut, meskipun revisi mendatang menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dengan prinsip tata kelola aset publik.

Setelah perubahan besar yang menata ulang struktur kepemilikan BUMN dan menempatkan BPI Danantara sebagai pengelola investasi utama serta mengatur tata kelola yang lebih profesional, aturan ini secara cepat diganti dan diperbaiki. Pertanyaan mendasar muncul: apakah revisi lanjutan ini semata untuk penyesuaian teknis atau menandakan ketidakkonsistenan negara dalam pengelolaan aset rakyat?

Konstitusi dan Putusan MK sebagai Dasar Revisi

Revisi ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 128/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi pejabat publik, termasuk wakil menteri, dalam posisi di BUMN. MK memperingatkan bahaya konflik kepentingan dan penumpukan kekuasaan, sehingga pejabat yang menjalankan fungsi pengawasan harus terpisah dari posisi strategis dalam BUMN.

Penegasan ini menjadi landasan utama revisi UU BUMN yang sedang digagas. Pertanyaannya: apakah pembentuk undang-undang akan konsisten menindaklanjuti putusan MK atau mencari celah hukum untuk membolehkan praktik rangkap jabatan tersebut?

Politik dan Kepentingan dalam Revisi UU BUMN

Dalam pengamatan, politik hukum yang menyelimuti revisi UU BUMN sering kali dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. DPR mengangkat isu larangan rangkap jabatan, namun kenyataannya, nama-nama politisi, purnawirawan, dan keluarga pejabat masih mendominasi posisi di komisaris.

Pemerintah menyatakan bahwa revisi dilakukan untuk memperkuat tata kelola, tetapi sebagian publik melihatnya sebagai peluang memanipulasi kursi kekuasaan. Dalam rencana terbaru, DPR mengusulkan perubahan struktur Kementerian BUMN menjadi Badan Penyelenggara BUMN (BP BUMN), yang kemudian akan diatur lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan turunan setelah UU disahkan.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah langkah ini benar-benar meningkatkan transparansi atau hanya memindahkan masalah ke struktur baru tanpa solusi substantif.

Pengelolaan Aset Negara dan Risiko Politisasi

Sebagaimana diketahui, BUMN mengelola keuangan negara dalam bentuk aset, modal, dan laba yang seharusnya kembali ke kas negara dan digunakan untuk pembangunan nasional. Namun dalam praktiknya, BUMN sering diperalat sebagai 'ATM' kekuasaan, dimana jabatan komisaris dijadikan hadiah politik dan proyek strategis dipolitisasi untuk keuntungan tertentu.

Putusan MK mempertegas bahwa pejabat yang terlibat pengelolaan BUMN harus tunduk pada prinsip penyelenggaraan negara yang mengutamakan transparansi dan akuntabilitas. Dalam revisi undang-undang yang sedang dibahas, muncul opsi mengembalikan status pejabat BUMN sebagai "penyelenggara negara" untuk memastikan mereka menjalankan tugas sesuai konstitusi.

Jika status ini tidak dikembalikan, revisi UU BUMN berpotensi melanggar semangat putusan MK dan membuka celah penyalahgunaan aset negara yang berakibat kerugian besar bagi keuangan negara, sebagaimana kasus Jiwasraya dan Garuda yang pernah mencoreng tata kelola BUMN.

Baca juga: Kapolri Sigit Cerita Situasi Menjadi Tidak Normal Usai Insiden Ojek Online

Pengawasan dan Risiko Penyalahgunaan Aset

Revisi UU BUMN harus memastikan agar relasi antara Danantara, BP BUMN, dan kementerian terkait tidak tumpang tindih. Karena jika tidak, aset negara berisiko jatuh ke dalam ruang abu-abu yang mengurangi tanggung jawab publik dan memperlebar ruang transaksi politik tak bertanggung jawab.

Putusan MK menegaskan bahwa pejabat terkait pengelolaan BUMN harus tunduk pada prinsip penyelenggara negara, termasuk transparansi kekayaan, larangan gratifikasi, dan pengendalian konflik kepentingan.

Dalam arah revisi yang tengah dibahas, muncul opsi untuk mengembalikan status pejabat BUMN sebagai “penyelenggara negara” agar tidak bertentangan dengan putusan MK dan menjaga integritas tata kelola. Jika hal ini diabaikan, revisi UU BUMN tidak hanya berpotensi inkonsisten tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pengelolaan keuangan negara secara umum.

Baca juga: Kapolri Sigit Tolak Mundur. Prioritaskan Stabilitas Nasional

Kesimpulan dan Harapan Masa Depan

Sejarah menunjukkan bahwa pelonggaran aturan BUMN sering diikuti dengan kerugian besar akibat manipulasi dan ketidaktransparanan. Revisi UU BUMN harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab agar tidak menjadi alat memperbesar kebocoran keuangan negara.

Penting bagi DPR dan pemerintah memastikan bahwa revisi ini selaras dengan prinsip konstitusi dan putusan MK, sehingga keberlanjutan pengelolaan aset nasional tetap aman dari praktik korupsi dan konflik kepentingan yang merugikan rakyat.

Proses revisi yang melibatkan partisipasi publik secara luas merupakan langkah penting untuk menjaga legitimasi. Jika dilakukan secara buru-buru tanpa transparansi, kepercayaan masyarakat akan semakin menipis dan membuka peluang manipulasi kekuasaan.

Dengan demikian, revisi UU BUMN harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola dan bukan justru memperparah kebocoran aset negara. Keberhasilan atau kegagalan revisi ini akan menjadi cermin komitmen negara dalam menghormati konstitusi dan melindungi kepentingan rakyat dari praktik korup dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tags: UU BUMN Revisi UU BUMN konflik kepentingan Kepastian Hukum Kebocoran Aset Negara Kebijakan Industri Penyelenggara Negara

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan