Pemandangan Kompleks DPR/MPR/DPD, di Senayan, Jakarta.

DPR dan MK Berselisih soal Hitungan Usia Calon Kepala Daerah

18 jam lalu | Nur Aisyah | Berita | Berita Nasional

Perselisihan mengenai perhitungan usia calon kepala daerah memicu polemik politik dan protes publik. DPR dan MK memiliki pandangan berbeda tentang waktu penghitungan usia minimum calon. MA menafsirkan bahwa usia dihitung sejak pelantikan kepala daerah terpilih. Sedangkan MK menegaskan, usia harus dihitung saat pendaftaran calon. Perbedaan interpretasi ini memengaruhi peluang calon seperti Kaesang Pangarep ikut maju di Pilkada 2024. DPR dan MK sempat berselisih secara formal, menimbulkan keresahan di masyarakat dan aksi demonstrasi. DPR kemudian merujuk pada putusan MA, menyebabkan beragam reaksi dan ketegangan politik yang meningkat. Upaya penyelesaian akhirnya dilakukan melalui kesepakatan revisi PKPU yang mengacu pada putusan MK. Langkah tersebut menutup polemik panjang dan memastikan proses Pilkada berjalan sesuai ketentuan konstitusional.

Perselisihan tentang formula perhitungan usia calon kepala daerah di Indonesia memunculkan dinamika politik yang cukup kompleks. Sebelumnya, DPR RI sempat menuai kritik tajam karena berupaya mengubah ketentuan usia minimal calon saat menjelang Pilkada Serentak 2024.

Langkah tersebut tercermin dari sikap DPR yang memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), yang menyatakan usia dihitung sejak pelantikan, berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan usia dihitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Keputusan DPR ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat karena dianggap mengabaikan peran penting MK sebagai pengawal konstitusi. Dugaan lain menyebut bahwa langkah ini diduga dilakukan untuk peluang maju Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, yang saat penetapan calon kalah usia minimal 30 tahun.

Ketentuan mengenai usia kepala daerah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Aturan tersebut menetapkan, calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun, sedangkan calon bupati dan wali kota beserta wakilnya minimal 25 tahun. Namun, undang-undang tidak secara tegas menentukan kapan usia tersebut dihitung, yang kemudian memicu sejumlah gugatan ke MA dan MK.

Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Pada 30 Mei 2024, MA mengabulkan permohonan uji materi dari Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. PKPU tersebut awalnya menyatakan bahwa syarat usia dihitung sejak penetapan calon. Namun, MA menilai, aturan itu tidak sesuai dengan UU Pilkada karena undang-undang tidak menentukan waktu penghitungan usia secara tegas. Dengan demikian, MA menafsirkan bahwa syarat usia minimum harus dihitung sejak pelantikan kepala daerah terpilih.

Keputusan ini memberi peluang bagi calon seperti Kaesang Pangarep yang usianya belum mencapai 30 tahun saat penetapan calon, tetapi sudah genap 30 tahun pada 25 Desember 2024, sebelum pelantikan kepala daerah hasil Pilkada.

Sementara itu, MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Putusan ini dibacakan pada 20 Agustus 2024, dan menyatakan bahwa pemenuhan syarat usia merupakan bagian dari kepastian hukum sejak awal pencalonan. MK menilai, ketentuan ini sudah cukup jelas dan tidak perlu direvisi, serta habis batasnya saat proses pencalonan berlangsung.

Dalam argumennya, MK menegaskan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 sudah mengandung makna yang tegas bahwa syarat usia harus dipenuhi saat pendaftaran calon, bukan saat pelantikan.

Baca juga: PKS Resmi Kukuhkan Kepengurusan Baru di Munas VI

Upaya DPR dan Reaksi Publik

Meskipun MK telah mengeluarkan putusan final dan mengikat, DPR RI melalui Panja revisi UU Pilkada justru merujuk pada putusan MA saat memasuki proses revisi. Pada 21 Agustus 2024, Wakil Ketua Baleg DPR RI menyatakan bahwa tafsir MA dianggap lebih memberikan kepastian, karena tidak ada ketentuan waktu dalam undang-undang yang secara tegas menyebutkan saat menghitung usia calon.

Keputusan ini menimbulkan protes luas dari masyarakat dan sejumlah elemen politik. Publik menyatakan DPR mengabaikan kewenangan MK sebagai pengawal konstitusi. Demonstrasi bertajuk “Peringatan Darurat” dan gerakan #KawalPutusanMK digelar di berbagai daerah sebagai bentuk penolakan.

Pakar hukum tata negara menegaskan bahwa jika DPR tetap mengesahkan revisi UU Pilkada berdasarkan putusan MA, maka berpotensi menimbulkan konsekuensi serius seperti sengketa hasil pilkada yang akhirnya diputuskan MK, termasuk kemungkinan pemungutan suara ulang (PSU) yang melanggar putusan MK tersebut. Rencana pengesahan RUU Pilkada di paripurna pun batal karena demonstrasi dan tensi politik yang meningkat.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa jika revisi UU Pilkada tidak disahkan, maka ketentuan yang berlaku adalah hasil putusan MK yang sudah final dan mengikat. Ia menyatakan, “Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran adalah hasil keputusan MK.”

Baca juga: Percepatan Sertifikasi Dapur Makanan Bergizi Gratis Dalam Satu Bulan

Langkah DPR Menuju Penyelesaian Akhir

Setelah kegaduhan tersebut, DPR mengambil pendekatan kompromi. Pada 25 Agustus 2024, Komisi II DPR bersama KPU RI menyepakati revisi PKPU Nomor 8 Tahun 2024, yang sepenuhnya mengacu pada Putusan MK. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menyebut aturan baru ini mampu mengurangi tafsir ganda yang sebelumnya muncul.

Keputusan tersebut membuka jalan bagi aturan yang kembali menganggap bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Dengan demikian, polemik yang sempat memanas dapat diselesaikan secara konstitusional, dan proses Pilkada 2024 pun berjalan sesuai ketentuan terbaru.

Tags: politik DPR MK pilkada hukum konstitusi PKPU calon kepala daerah

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan