Putra tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit ditemui di Kompas Institute, Jakarta, Selasa (30/9/2025).

Ilham Aidit Soroti Kurangnya Penggambaran Dampak 1965 dalam Sejarah

1 jam lalu | Reynaldo Putra | Berita | Berita Nasional

Ilham Aidit menyatakan bahwa penulisan sejarah 1965 terlalu fokus pada peristiwa pembunuhan jenderal. Peristiwa itu memiliki dampak sosial yang luas. Ia menilai karya novel bisa menjadi media efektif mengenalkan sejarah kepada generasi muda. Novel fiksi sejarah dianggap lebih mudah diterima milenial dan generasi Z. Penjelasannya menyoroti pentingnya penggambaran dampak sosial 1965. Ia berharap karya tersebut dapat menjadi jembatan memahami sejarah kelam Indonesia.

Putra tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, menyoroti bahwa penulisan sejarah peristiwa 1965 selama ini terlalu berfokus pada pembunuhan para jenderal, sementara dampak sosial yang lebih luas jarang dibahas secara lengkap.

Pernyataan tersebut disampaikan Ilham usai menghadiri peluncuran serta kajian novel Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S karya Yusron Ihza Mahendra di Kompas Institute, Palmerah, Jakarta, pada Selasa.

Baca juga: Isu Barang Pribadi dalam Kasus Kematian Diplomat Disorot

Penulisan sejarah yang terlalu terbatas

Ilham menyampaikan, “Seperti yang saya sebutkan, bahwa dalam buku sejarah kita itu selama ini orang selalu berkutat pada peristiwa terbunuhnya para jenderal saja, tapi dampaknya itu tidak pernah disampaikan dengan gamblang." Ia menambahkan bahwa peristiwa 1965 sangat besar dampaknya dan menyentuh kehidupan banyak orang secara luas.

Ia menjelaskan bahwa dampak dari peristiwa tersebut meliputi terbunuhnya ratusan ribu orang, penahanan massal, dan pembuangan ribuan orang ke Pulau Buru. Selain pembunuhan para jenderal, ratusan ribu orang lainnya juga menjadi korban, banyak yang dipenjara, dan sebagian lainnya dibuang ke pulau terpencil.

“Selain terbunuhnya para jenderal, tetapi juga terbunuhnya ratusan ribu orang, dipenjara ratusan ribu orang, 12 ribu orang dibuang ke Pulau Buru, ada 400 orang yang tidak bisa kembali ke negerinya, ke tanah airnya kembali," ujarnya.

Baca juga: Marc Marquez Temui Presiden Prabowo di Istana Jakarta

Karya fiksi sejarah sebagai media pengenalan sejarah

Ilham menilai karya Yusron Ihza Mahendra dapat menjadi media alternatif untuk mengedukasi generasi muda tentang kelamnya peristiwa 1965. Ia menambahkan bahwa gaya penyajian dalam bentuk novel fiksi sejarah dianggap lebih mudah diterima, khususnya kalangan milenial dan generasi Z.

"Buku ini sebetulnya kan buku novel ya fiksi, tapi kajiannya cukup mendalam mengenai latar belakang sejarah. Yang menurut saya itu luar biasa, Yusron ya, luar biasa sekali mencari latar belakang sejarah sehingga sangat mungkin kalau kemudian buku ini menarik orang terkait peristiwa 65 tanpa diskusi yang berat," sambung Ilham.

Ia menegaskan bahwa novel bisa menjadi jembatan agar generasi muda tidak menjauh dari sejarah masa lalu.

"Selama masa lalu itu belum lagi mendapatkan terang yang mampu menerangi masa depan, maka kita akan selalu berjalan di tengah kabut. Kira-kira gitu," pungkasnya.

Tags: Sejarah Indonesia Peristiwa 1965 Literasi Sejarah Novel Fiksi Pendidikan Sejarah

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan