Sejumlah kader menghadiri Tasyakuran Muktamar X PPP versi Ketua Umum PPP terpilih Agus Suparmanto di kawasan Ancol, Jakarta, Minggu (28/9/2025). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami dualisme kepimimpinan setelah pada hari pertama Muktamar X PPP atau Sabtu (27/9/2025) malam awalnya mengumumkan Muhamad Mardiono terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum periode 2025-2030 lalu direspon oleh kubu yang berseberangan dengan mengumumkan Agus Suparmanto sebagai ketua umum yang terpilih versi mereka.

Kekacauan di Muktamar PPP: Simbol Kehancuran Partai Lama

2 jam lalu | Reynaldo Putra | Berita | Berita Nasional

Muktamar PPP di Ancol berakhir chaos dengan dua ketua umum dan kursi beterbangan. Partai ini gagal bangkit pasca kekalahan di Pemilu 2024. Sejarah membuktikan bahwa tanpa adaptasi, partai politik pun bisa hilang dari panggung. PPP, yang dulu kuat, kini terancam musnah jika tak berubah. Konflik internal dan ketertinggalan isu menyebabkan kepercayaan publik menurun drastis. Generasi muda tidak lagi peduli dengan narasi lama yang tak relevan. Mereka lebih tertarik isu kekinian seperti ekonomi kreatif dan lingkungan. Jika tidak segera melakukan reformasi, PPP akan terlupakan seperti partai lainnya yang hilang dari sejarah politik Indonesia.

Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ancol, Jakarta, akhir September 2025, menyisakan situasi yang penuh ironi. Forum yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan setelah kekalahan di Pemilu 2024 justru berakhir dengan demonstrasi kekacauan yang menyedihkan. Dalam muktamar tersebut, dua kali palu diketuk, dua kali pula keputusan secara aklamasi diumumkan, dan lahir dua ketua umum berbeda: Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, yang diangkat dalam waktu berdekatan. Kondisi ini mencerminkan kekonyolan yang dilakukan PPP, yang dalam satu forum, menghasilkan dua hasil berbeda, dan menegaskan bahwa tidak ada pihak yang mau mengalah. Keadaan menjadi semakin chaos saat suasana memanas dan kursi-kursi di arena muktamar dilempar ke udara, bukan lagi untuk diduduki, tetapi sebagai simbol kekerasan dan ketidakstabilan.

Perjuangan dan Kemerosotan PPP dalam Politik Indonesia

Ironisnya, kursi-kursi yang seharusnya menjadi simbol kekuasaan itu berubah fungsi menjadi ancaman, sementara di DPR RI, PPP sudah kehilangan seluruh kursinya sejak kegagalan meraih ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. Sebelumnya, PPP pernah memiliki peranan penting dalam sejarah politik Indonesia sejak didirikan pada 5 Januari 1973. Partai ini lahir dari fusi empat organisasi Islam, yakni Nahdlatul Ulama, Parmusi, PSII, dan Perti, sebagai konsekuensi kebijakan politik Orde Baru yang hanya mengizinkan tiga kekuatan politik besar, yakni Golkar, PPP, dan PDI.

Dengan lambang Ka’bah (yang sempat berganti menjadi gambar bintang), PPP muncul sebagai representasi umat Islam yang menyalurkan aspirasi politik di tengah ruang terbatas yang disediakan negara. Pada masa awal, PPP bahkan menempati posisi kedua pada Pemilu 1977 dan 1982, di belakang Golkar yang menjadi kendaraan kekuasaan. Partai ini menjadi pilihan utama bagi umat Islam yang ingin menyalurkan aspirasinya efektif, sekaligus menjadi kanal utama dalam konteks politik otoriter. Sayangnya, ketika Pemerintah Orde Baru memaksakan asas tunggal Pancasila pada 1984, PPP harus merelakan banyak kadernya hengkang atau dibungkam, tetapi tetap bertahan sebagai oposisi keras di tengah rezim yang otoriter.

Baca juga: Satgas Operasi Damai Cartenz Gegerkan KKB di Papua

Kinerja dan Perubahan setelah Reformasi

Setelah Reformasi, PPP menghadapi tantangan besar. Seiring keluarnya Nahdlatul Ulama, salah satu pilar utama PPP, dan pembentukan PKB, basis dukungan mereka mulai pecah dan melemah. Dalam periode pasca-Orde Baru, jumlah suara mereka terus menurun. Pada Pemilu 1999, PPP memperoleh 10,7 persen suara, namun tren penurunan terus berlanjut. Di Pemilu 2004, mereka memperoleh 8,1 persen, turun menjadi 5,3 persen di 2009, kemudian 6,5 persen di 2014, dan terakhir 4,5 persen di 2019. Puncaknya, dalam Pemilu 2024, PPP gagal melampaui batas minimal suara yang ditetapkan untuk duduk di DPR, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, partai ini kehilangan kursi di parlemen.

Sejumlah kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersitegang saat terjadi kericuhan usai pembukaan Muktamar ke-10 PPP di Jakarta, Sabtu (27/9/2025). Muktamar yang mengambil tema Transformasi PPP untuk Indonesia tersebut diselenggarakan pada 27-29 September 2025 dengan agenda utama pemilihan ketua umum baru periode 2025-2030. Sejumlah kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersitegang saat terjadi kericuhan usai pembukaan Muktamar ke-10 PPP di Jakarta, Sabtu (27/9/2025). Muktamar yang mengambil tema Transformasi PPP untuk Indonesia tersebut diselenggarakan pada 27-29 September 2025 dengan agenda utama pemilihan ketua umum baru periode 2025-2030.

Kegagalan tersebut seharusnya menjadi momen refleksi secara internal, tetapi konflik dan perebutan kekuasaan yang terjadi di Muktamar Ancol menunjukkan sebaliknya. Para elit partai sibuk memperkeruh suasana dan berdebat siapa yang berhak memimpin, alih-alih membangun strategi baru yang mampu menarik perhatian pemilih muda. Paradigma lama tentang rumah besar umat tanpa keteladanan konkret membuat PPP gagal mengikuti dinamika politik zaman sekarang, yang dipenuhi dengan isu-isu kekinian seperti lapangan kerja, pendidikan, lingkungan hidup, digitalisasi, dan ekonomi kreatif. Generasi muda, yang kini menjadi mayoritas pemilih, tidak lagi tertarik pada narasi klasik partai yang stagnan dan tidak relevan.

Baca juga: Mediasi Gugatan Harta Gibran Ditunda, Hakim Minta Hadir Langsung

Pelajaran dari Sejarah dan Masa Depan PPP

Sejarah politik Indonesia mencatat sejumlah partai besar yang pernah berjaya, namun kemudian menghilang. Partai Katolik, Parkindo, dan bahkan PNI —yang pernah besar dan eksis— akhirnya melebur dan menghilang dalam memori kolektif, sebagai bukti bahwa tak ada politik yang abadi, kecuali kemampuan beradaptasi terhadap zaman. Saat ini, PPP berada di titik kritis. Apakah partai ini akan menjadi fosil politik, dikenang sebagai simbol kejayaan masa lalu, atau mampu bangkit kembali dengan wajah yang segar dan menarik perhatian publik? Tanda-tanda belum menunjukkan ke arah yang pasti. Kursi yang beterbangan di Ancol mungkin menjadi simbol terakhir dari kekacauan internal yang menghancurkan citra partai. Meskipun demikian, peluang perbaikan masih ada. PPP dapat meredakan luka dan menghidupkan kembali semangat politiknya dengan melakukan rekonsiliasi kemanan internal dan merancang strategi baru yang lebih relevan.

Langkah-langkah konkret seperti meningkatkan keterlibatan generasi muda dan fokus pada isu-isu umat yang nyata bisa menjadi jalan keluar. PPP harus mampu membuka ruang bagi kader muda untuk memimpin dan keluar dari lingkaran elit lama yang stagnan. Jika tidak, dan proses tersebut tertunda, kemungkinan besar PPP akan mengikuti jejak partai lainnya yang sekarang tinggal nama dan jejak sejarah. Muktamar Ancol yang semestinya menjadi momentum kebangkitan, justru akan dikenang sebagai titik balik terakhir sebelum partai ini benar-benar tersisih dari kancah politik Indonesia. Kursi yang dilemparkan oleh kader dalam arena sidang menjadi metafora pahit tentang kegagalan menjaga kekuasaan dan kekuatan politiknya, meninggalkan warisan kosong yang menghilang dari peta politik nasional.

Tags: Politik Indonesia PPP Muktamar Sejarah Partai Krisis internal

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan