Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan bahwa pemerintah sudah mengalokasikan Rp 16,23 triliun untuk mendorong daya beli masyarakat.

Ketimpangan Ekonomi Indonesia Tercermin dari Pola Konsumsi Sehari-hari

23 Sep 2025 | Nur Aisyah | Berita | Berita Nasional

Ketimpangan ekonomi terlihat dari pola konsumsi masyarakat Indonesia, dimana masyarakat miskin hanya mampu konsumsi lauk tempe, berbeda dengan kelas atas yang bisa memilih lauk daging dan ikan. Harapan pertumbuhan ekonomi inklusif menjadi fokus utama pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan semua lapisan masyarakat.

JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI I Said Abdullah menyampaikan bahwa kondisi ekonomi berdampak langsung terhadap pola konsumsi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terbawah. Ia menegaskan bahwa banyak orang miskin harus mengonsumsi lauk tempe dari waktu sarapan hingga makan malam karena keterbatasan pilihan.

Pernyataan tersebut disampaikan Said saat menjelaskan harapan terhadap pertumbuhan ekonomi yang bersifat inklusif setelah DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menjadi undang-undang. Ia mengilustrasikan ketimpangan dalam kemampuan masyarakat memilih lauk pauk berdasarkan kelas ekonomi yang berbeda.

Baca juga: DPR RI Sahkan Perubahan Program Legislasi Nasional 2025-2029

Gambaran Ketimpangan Konsumsi Antara Masyarakat Miskin dan Masyarakat Kaya

Said menjelaskan bahwa di pagi hari, masyarakat miskin, termasuk yang ekstrem miskin, cenderung mengonsumsi lauk tempe sebagai bagian dari menu mereka, sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas mungkin juga memilih tempe sebagai pilihan makan pagi. Ia menambahkan, “Dengan segala hormat, katakanlah masyarakat miskin, ekstrem miskin, pagi makan tempe, yang menengah atas pagi makan tempe. Dua-duanya makan tempe,”.

Namun, saat waktu makan siang tiba, masyarakat miskin kembali bergantung pada lauk tempe, sementara kalangan kaya memiliki opsi untuk membeli lauk daging. Menjelang malam hari, pola serupa kembali terlihat, di mana masyarakat miskin makan dengan lauk tempe, dan kelas ekonomi atas memiliki pilihan untuk mengonsumsi lauk ikan, yang biasanya lebih mahal dan bergizi tinggi.

Menurut Said, meskipun dari segi konsumsi kedua kelas tersebut makan tempe di pagi hari, kondisi mereka berbeda secara mendasar. Ia menyatakan, “Pagi hari ketika bersama-sama makan tempe, yang satu adalah sebuah pilihan, yang satu masyarakat miskin karena memang tidak ada pilihan.”

Baca juga: Tujuan Awal Pembangunan IKN Tidak Berubah, Tetap sebagai Ibu Kota Negara

Pentingnya Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Berangkat dari gambaran ketimpangan tersebut, Said Abdullah berharap pertumbuhan ekonomi nasional mampu bersifat inklusif sehingga mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat. Ia menekankan bahwa peningkatan pendapatan saja tidak cukup; pemerintah harus mampu meningkatkan kapasitas rakyat agar mereka dapat menjadi bagian dari golongan tertentu, melakukan sesuatu, dan mendapatkan pengakuan serta kehormatan.

“Itulah nilai tertinggi dalam hidup,” ujarnya.

Sebelumnya, DPR RI telah menyetujui pengesahan RUU APBN 2026 menjadi undang-undang setelah mendapatkan persetujuan dari seluruh fraksi dalam Sidang Paripurna ke-5 Masa Persidangan 1 Tahun 2025-2026 yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR Puan Maharani.

Untuk tahun anggaran 2026, pemerintah dan Banggar DPR menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp 3.153,6 triliun, sementara rencana belanja mencapai Rp 3.842,7 triliun. Dengan angka tersebut, paket APBN 2026 akan menetapkan defisit sebesar Rp 689,1 triliun.

Tags: Pertumbuhan Ekonomi APBN 2026 kemiskinan ketimpangan ekonomi konsumsi masyarakat

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan