Paska gelombang aksi demonstrasi besar pada bulan Agustus 2025, aparat kepolisian melakukan penyitaan terhadap berbagai buku dari sejumlah lokasi demonstrasi di Jakarta hingga Surabaya. Buku yang disita beragam tema mulai dari anarkisme, filsafat politik, hingga sejarah sosial. Langkah ini menjadi buah bibir, menimbulkan perdebatan publik mengenai batasan antara penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Pihak kepolisian beralasan bahwa penyitaan ini dilakukan untuk menelusuri motif serta pola tindak perusakan yang terjadi selama aksi. Mereka berpendapat bahwa buku-buku tersebut penting sebagai barang bukti untuk mendukung proses penyelidikan. Akan tetapi, tindakan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah membaca karya para tokoh besar seperti Emma Goldman, Che Guevara, maupun Pramoedya Ananta Toer bisa langsung dijadikan dasar pembuktian tindak pidana?
Dalam konteks ini, muncul pula pertanyaan mengenai posisi buku dalam kehidupan bermasyarakat. Apakah buku masih dianggap sebagai sumber pengetahuan dan budaya, atau sudah bergeser menjadi alat bukti yang memberatkan dan mempersempit ruang diskusi.
Hak atas kebebasan membaca termasuk dalam hak asasi manusia yang diatur dalam UUD NRI 1945. Menjadi barang bukti tanpa adanya konteks yang jelas berpotensi menimbulkan stigma terhadap pemikiran kritis sebagai sesuatu yang membahayakan. Demokrasi sejatinya justru memberi ruang bagi perdebatan dan variasi gagasan, baik yang radikal maupun kontroversial, agar dapat diuji di ruang publik, bukan disingkirkan secara paksa.
Penyitaan buku sebagai bentuk tindakan represif perlu dikaji ulang
Penyitaan buku tidak boleh digunakan sebagai jalan pintas untuk membenarkan tindakan represif. Buku adalah objek pengetahuan, bukan pelaku tindakan kriminal. Jika buku yang berisi ide-ide tentang revolusi, anarkisme, maupun politik disamakan dengan senjata atau alat perusakan, maka hal itu berpotensi mengaburkan batas antara gagasan dan tindakan nyata.
Logika tersebut dapat menyebabkan anggapan bahwa setiap orang yang membaca karya tentang revolusi berpotensi menjadi perusuh, yang tentu berbahaya bagi iklim kebebasan berpikir di negara demokrasi. Selain itu, penyitaan buku yang tidak relevan secara langsung terhadap tindak pidana dapat melanggar hak yang dijamin konstitusi dan prinsip proporsionalitas dalam hukum.
Dalam sistem hukum Indonesia, penyitaan harus memenuhi ketentuan Pasal 39 KUHAP, yang menyatakan bahwa penyitaan dapat dilakukan terhadap barang yang secara langsung digunakan untuk melakukan tindak pidana, hasil tindak pidana, atau yang menjadi barang bukti dalam proses peradilan. Tanpa adanya relevansi langsung tersebut, penyitaan bisa dianggap melampaui kewenangan dan berpotensi menimbulkan kesan menghambat proses keadilan.
Penyitaan buku tanpa bukti keterkaitan kausal yang kuat berisiko menciptakan ketakutan kolektif dan menghambat kebebasan masyarakat dalam berdiskusi dan menjalankan fungsi literasi sebagai bagian dari demokrasi. Aparat harus memastikan bahwa proses hukum dilakukan secara adil dan transparan, serta berlandaskan bukti yang valid dan relevan.
Baca juga: Kesiapan Infrastruktur dan Kedatangan Jet Rafale di Pekanbaru
Pengaruh sejarah dan prinsip hukum dalam perlindungan kebebasan membaca
Sejarah panjang menunjukkan bahwa upaya pembatasan literasi sering berujung pada kesenjangan demokrasi dan munculnya ketakutan kolektif. Pada masa kolonial, sensor terhadap karya sastra dan pelarangan buku digunakan sebagai alat kontrol kekuasaan. Bahkan pada masa Orde Baru, tindakan serupa masih sering terjadi, yang menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kebebasan berpendapat dan berkreasi.
Oleh karena itu, dalam kerangka hukum modern, kriminalisasi terhadap buku harus memenuhi standar legalitas, proporsionalitas, dan perlindungan hak asasi manusia. Menurut Moeljatno dan Sudarto, suatu perbuatan hanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika menimbulkan bahaya nyata terhadap masyarakat (harm principle) dan jika dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Penerapan hukum yang berlebihan, atau over-criminalization, justru dapat mengancam kebebasan sipil dan memunculkan efek jera yang tidak proporsional terhadap hak individu dalam berpikir dan berekspresi. Pasal 39 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa penyitaan harus relevan langsung dengan tindak pidana yang disidik, bukan sekadar menyita buku tanpa dasar yang kuat.
Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah buku-buku yang disita—yang membahas anarkisme, filsafat politik, sejarah, dan lainnya—memenuhi kriteria relevansi tersebut. Jika tidak, maka tindakan penyitaan tersebut berpotensi menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan mengganggu proses peradilan karena menggeser fokus dari tindakan nyata ke bidang ide dan pemikiran.
Penekanannya, alat bukti harus memiliki hubungan langsung dan logis dengan tindak pidana yang disidik. Menggeneralisasi buku sebagai pemicu tindak pidana tanpa bukti hubungan kausal yang jelas dapat menciptakan preseden berbahaya dan menimbulkan ketakutan dalam masyarakat untuk membaca dan berdiskusi secara bebas.
Literasi adalah fondasi utama demokrasi dan penting untuk membangun masyarakat yang kritis dan mampu menilai berbagai kebijakan. Oleh karena itu, penyitaan buku tanpa dasar yang kuat akan membatasi ruang dialog dan menghambat perkembangan intelektual warga negara.
Baca juga: Prabowo Ungkap Bantuan Bill Gates Bantu Indonesia Rp 8 Triliun
KesImpulan dan langkah ke depan
Dalam membangun negara demokrasi yang sehat, penegakan hukum harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Penyitaan buku harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan bukti yang jelas, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Penyitaan tanpa dasar yang kuat justru akan memperlebar jarak antara masyarakat dan aparat penegak hukum, serta mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Peran masyarakat, akademisi, dan lembaga terkait sangat penting untuk mengawasi dan memastikan bahwa kebebasan membaca dan berekspresi tetap terlindungi. Hak untuk memiliki dan mengakses buku adalah bagian integral dari hak asasi manusia, dan bila dilanggar, berpotensi memadamkan semangat kritis warga dan merusak fondasi demokrasi.
Sejarah menunjukkan bahwa pembungkaman literasi hanya akan melahirkan generasi yang pasif atau malah semakin resisten terhadap kekuasaan. Melalui pendidikan dan kebebasan berekspresi, negara harus mampu menciptakan ruang dialog yang sehat, sehingga ide-ide kritis dan perbedaan pendapat dapat berkembang secara bebas dan bertanggung jawab.
Tags: Hak Asasi Manusia Penegakan Hukum demokrasi Literasi kebebasan membaca