Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali berada di titik kritis, menghadapi tantangan besar yang menuntut perubahan mendasar. Setelah sejumlah kritik keras dari publik, termasuk tragedi menewaskan Affan Kurniawan, driver ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi Agustus 2025, pemerintah menanggapi dengan membentuk dua tim reformasi yang memiliki fokus berbeda namun tujuan yang sama.
Peran Komite Reformasi Kepolisian
Komite Reformasi Polri yang dibentuk Presiden memiliki bobot politik dan hukum yang signifikan. Keberadaannya berdasarkan Keputusan Presiden menegaskan bahwa reformasi ini bukan sekadar agenda internal, melainkan langkah utama dalam upaya menjaga kestabilan dan keadilan nasional. Nama-nama seperti Mahfud MD, tokoh hukum yang dikenal tegas, dan Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang kini penasihat khusus Presiden, dipercaya untuk mengemban mandat menyusun revisi Undang-Undang Kepolisian, mendesain ulang struktur kelembagaan, serta menciptakan mekanisme pengawasan baru.
Mandat tersebut mencerminkan keinginan kuat pemerintah untuk mengubah kerangka kerja regulasi yang selama ini dianggap menjadi penghambat reformasi. Tanpa perubahan regulasi, dinilai, Polri akan terus berputar di tempat, meskipun terjadi pergantian figur di pucuk pimpinan. Sebab, perubahan wajah institusi tak cukup berarti jika perangkat dan sistemnya tidak diperbaiki secara mendalam.
Jalur Transformasi Internal ala Kapolri
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meluncurkan Tim Transformasi Reformasi Polri yang mengusung strategi jangka panjang, yakni Grand Strategy 2025–2045. Tim yang beranggotakan 52 perwira ini bertugas memperbaiki etika, meningkatkan pelayanan publik, dan membangun profesionalisme internal kepolisian. Strategi ini menunjukkan komitmen serius, namun juga menimbulkan pertanyaan terkait keberpihakan dan prioritas cepat yang diinginkan masyarakat.
Publik sudah lama menantikan perubahan nyata, bukan sekadar janji atau janji yang terlambat. Oleh karena itu, perbedaan antara reformasi struktural melalui komite dan reformasi budaya melalui tim internal menjadi penting. Kedua jalur harus saling melengkapi agar proses reformasi tidak terjebak dalam ketidakkonsistenan maupun tumpang tindih. Jika tidak disinkronisasi, risiko utama adalah mandeknya perubahan, sehingga citra dan kepercayaan publik terhadap Polri terus menurun.
Baca juga: Reformasi Polri Menuju Kepercayaan Publik Lebih Tinggi
Sejarah dan Tantangan Reformasi Polri
Sejak reformasi 1998, janji pembenahan institusi kepolisian terus bergema. Sayangnya, berbagai kasus yang melibatkan aparat polisi yang mencederai rasa keadilan, seperti tragedi KM 50, kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa serta kasus salah tangkap dan tindakan represif, terus menghantui proses reformasi ini. Kejadian-kejadian ini menyebabkan masyarakat semakin skeptis dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum tersebut.
Dalam era keterbukaan informasi, ruang publik memiliki alat pengawasan yang jauh lebih efektif. Kamera ponsel dan media sosial memungkinkan masyarakat untuk langsung mendokumentasikan dan menyebarkan tindakan aparat yang dianggap melanggar hak asasi atau melakukan kekerasan berlebihan. Contohnya, insiden brutal oleh belasan oknum Brimob di Maluku yang terekam dan viral, kembali memperlihatkan bahwa citra Polri cukup rapuh dan membutuhkan reformasi yang nyata dan berkelanjutan.
Baca juga: Mediasi Kasus Pencemaran Nama Baik Ridwan Kamil Gagal
Pentingnya Reformasi Jadi Tuntutan Mendasar
Transformasi Polri tidak dapat ditunda karena masa depan keadilan dan legitimasi negara sangat bergantung pada efektivitas reformasi tersebut. Jika negara dan masyarakat tidak melihat aksi nyata, kemungkinan besar mereka akan mengambil alih narasi dan membiarkan citra Polri semakin tercemar. Reformasi ini adalah ujian berat bagi keberlangsungan kepercayaan masyarakat dan sekaligus legitimasi negara sebagai penjaga keadilan.
Sinyal positif dan komitmen dari pemerintah harus dibarengi dengan implementasi nyata. Hal ini harus mencakup revisi regulasi, peningkatan profesionalisme, serta transparansi dalam setiap langkahnya. Jika tidak, potensi kembalinya ke pola lama dan kegagalan reformasi akan terus menghantui, memperpanjang panjang saga reformasi yang tak kunjung usai.
Secara umum, reformasi Polri membutuhkan kerja keras dan komitmen politik jangka panjang. Jika proses ini dilakukan secara serius, momentum ini bisa menjadi titik balik untuk menciptakan Polri yang lebih profesional, humanis, dan benar-benar bekerja untuk rakyat. Sebaliknya, jika berhenti di level retorika dan laporan proyek, maka seluruh proses dapat berujung sia-sia dan kepercayaan masyarakat semakin menurun. Upaya ini adalah bagian dari upaya menjaga keberlangsungan negara hukum dan menciptakan pelayanan publik yang adil dan transparan.
Tags: Reformasi Polri Kepolisian Indonesia Kebijakan Publik Transparansi Perubahan Struktural