Pemilik PT Lawu Agung Mining (PT LAM), Windu Aji Sutanto usai sidang pembacaan vonis TPPU di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2025).

Sidang Kasus TPPU Nikel, Hakim Berbeda Pendapat

5 hari lalu | Alisha Putri | Berita | Berita Nasional

Hakim di Pengadilan Tipikor memutuskan kasus TPPU terkait korupsi nikel sebagai ne bis in idem, sementara hakim lain berbeda pendapat, menunjukkan dinamika putusan hukum. Kasus ini bermula dari praktek ilegal penjualan ore nikel dan penyembunyian asal usul kekayaan.

Kasus tindak pidana pencucian uang terkait korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menunjukkan perbedaan pendapat di kalangan hakim pengadilan. Terdakwa Windu Aji Sutanto selaku pemilik PT Lawu Agung Mining (PT LAM) dan Glenn Ario Sudarto sebagai pelaksana lapangan di perusahaan tersebut turut terlibat dalam kasus yang melibatkan praktik pencucian uang hasil korupsi.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat, hakim anggota Hiashinta Fransiska Manalu menyampaikan dissenting opinion terkait keputusan majelis yang menyatakan perkara pencucian uang ne bis in idem atau tidak dapat dituntut dua kali untuk kasus yang sama. Hakim Fransiska berpendapat bahwa perkara TPPU dan kasus korupsi awal yang menyangkut terdakwa bukanlah perkara yang sama, dan alasan tersebut didasarkan pada perbedaan pasal yang digunakan dalam dakwaan.

Menurut Fransiska, "Hakim anggota II berpendapat tidak ne bis in idem karena terdakwa dalam pidana pokok (kasus korupsi) terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b UU Tipikor. Sedangkan dalam perkara a quo (TPPU) terdakwa didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 UU TPPU jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP."

Fransiska menambahkan, "Bahwa masing-masing dakwaan tersebut telah mengandung unsur-unsur tindak pidana yang berbeda yang telah diatur dalam UU yang berbeda pula." Ia juga menilai, dari sisi materi, tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana maupun alasan pembenar maupun pemaaf atas tindakan terdakwa dalam kasus pencucian uang ini.

Baca juga: Revisi UU Kepolisian Berpotensi Bentuk Reformasi Radikal

Perbedaan Pendapat di Kalangan Hakim

Sementara itu, Hakim Ketua Sri Hartati dan Hakim Anggota I Juandra berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa perkara TPPU Windu dan Glenn memenuhi asas ne bis in idem. Mereka menilai, modus yang digunakan untuk menyembunyikan hasil kekayaan, seperti membuka rekening atas nama orang lain serta pembelian mobil mewah, memiliki konstruksi yang sama dengan yang dipertimbangkan dalam vonis kasus korupsi sebelumnya.

Dalam sidang tersebut, majelis hakim akhirnya memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman terhadap Windu dan Glenn atas kasus TPPU. Hakim menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan pengulangan dari perkara korupsi dan memenuhi asas ne bis in idem, sehingga terdakwa tidak dapat dihukum kembali atas perkara yang sama.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Windu Aji Sutanto ne bis in idem," ujar Hakim Ketua Sri Hartati saat membacakan amar putusan. Hakim juga menyebutkan bahwa perkara TPPU ini memiliki kesamaan substansi dengan kasus korupsi sebelumnya, yang telah berkekuatan hukum tetap setelah putusan kasasi dari Mahkamah Agung.

Dalam perkara korupsi awal, Windu mendapatkan hukuman 10 tahun penjara setelah kasasi, sementara Glenn dan Direktur PT LAM, Ofan Sofwan, masing-masing dihukum 7 dan 6 tahun penjara, lengkap dengan denda sebesar Rp 500 juta. Selain itu, Windu divonis membayar uang pengganti sebesar Rp 135,8 miliar, dengan masa tenggang dua tahun.

Kasus ini bermula dari penjualan ore nikel dari Blok Mandiodo, yang diduga dilakukan secara ilegal melalui rekayasa dan dokumen palsu, serta disembunyikan asal usul kekayaannya. Jaksa penuntut umum menyatakan bahwa Glenn mendirikan PT LAM bersama Tan Lie Pin dan menjabat sebagai direktur, sementara Windu sebagai salah satu pemegang saham PT Khara Nusa Investama yang membeli saham PT LAM sebesar 95 persen.

Selain itu, Glenn diduga melakukan manipulasi dokumen dan membuka rekening atas nama orang lain untuk menampung keuntungan dari penjualan ore nikel secara ilegal. Hasil dari penjualan tersebut mencapai Rp 135,8 miliar dan sebagian besar dana tersebut diduga ditarik secara tunai sebelum dipindahkan ke rekening PT LAM.

Modus operandi ini, menurut jaksa, membuat seolah-olah ore nikel berasal dari sumber legal dan menghukung tindakan pencucian uang dengan tujuan mengaburkan asal-usul kekayaan yang berasal dari praktik korupsi di industri pertambangan.

Tags: Korupsi pengadilan hukuman pertambangan pencucian uang

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan