Komunikasi pejabat di ruang publik belakangan menunjukkan ketidakselarasan, padahal kemampuan berkomunikasi yang efektif menjadi indikator moralitas kekuasaan. Ucapan yang sembrono, humor yang menyinggung, atau pernyataan yang mengabaikan penderitaan rakyat menjadi mudah tersebar dan memperkuat jarak emosional. Media sosial turut memperbesar dampak dari peristiwa tersebut.
Kemarahan masyarakat terhadap pernyataan seorang anggota DPRD Gorontalo baru-baru ini salah satu contoh bukti dari fenomena tersebut. Candaan tentang “merampok uang negara” langsung memicu ketegangan antara pejabat dan rakyat. Kasus ini mencerminkan pola yang lebih luas, di mana pejabat tampaknya menjalankan ‘gerakan’ terorganisasi menolak empati terhadap kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Polanya Berulang dan Meningkatkan Jarak Emosional
Fenomena ini dapat diamati dari pola yang berulang: pejabat bergurau soal uang negara, yang lain menuduh korban bencana kurang bersyukur, sementara sebagian sibuk memamerkan gaya hidup mewah. Peristiwa-peristiwa ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan semakin memperkuat persepsi bahwa pejabat secara kolektif menolak mengekspresikan empati terhadap publik.
Laporan harta kekayaan pejabat, seperti hasil LHKPN, sering menunjukkan kekayaan yang minus. Publik menilai ini sebagai indikasi bahwa pejabat tidak memahami arti pendapatan dan fasilitas mewah sebagai amanah. Ketika gaya hidup mereka bertentangan dengan penderitaan rakyat, ucapan sembarang menjadi lebih menyakitkan. Klarifikasi formal biasanya bersifat dangkal, seperti permintaan maaf singkat, alasan tidak sadar terekam, atau tuduhan diperas.
Alih-alih menerima jawaban tersebut, masyarakat menuntut pengakuan moral. Ketika hal ini tidak terpenuhi, kepercayaan masyarakat terhadap pejabat semakin menipis. Krisis empati dan merosotnya kepercayaan publik ini menjadi alarm atas kerusakan demokrasi. Meskipun aktivitas politik berjalan secara prosedural, komunikasi verbal dan non-verbal pejabat terus memperlebar jarak dengan rakyat.
Akibatnya, legitimasi kekuasaan tidak hanya tergerus oleh aspek hukum, melainkan juga oleh kegagalan dalam komunikasi yang mampu menjaga sensitivitas masyarakat. Ini merupakan inti dari 'gerakan' anti-empati di kalangan pejabat, yang, sadar atau tidak, berbicara dengan pola yang sama dan mengabaikan luka rakyat yang dipimpinnya.
Serentetan blunder komunikasi ini tidak hanya berlalu begitu saja, tetapi membangun memori kolektif yang sulit dihapus di benak masyarakat bahkan setelah klarifikasi dilakukan. Ini menegaskan prinsip komunikasi yang tidak bisa ditarik kembali, bahwa pesan yang sudah disampaikan akan tetap berpengaruh, meskipun disertai permintaan maaf.
Baca juga: Presiden Prabowo Gelar Rapat Prioritas Program Nasional
Peran Bahasa dan Pola Komunikasi dalam Kekuasaan
Bahasa merupakan wajah kekuasaan. Robert Entman mengingatkan, pembingkaian kata dan kalimat menentukan makna yang diterima publik. Saat ini, ucapan pejabat sering memosisikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Masyarakat menolak bingkai tersebut dan meresponsnya dengan bingkai tandingan, sementara pejabat tampak acuh tak acuh.
Sementara itu, komunikasi ideal bertujuan untuk membuka dialog, sebagaimana model komunikasi dua arah yang dikembangkan James E. Grunig dan Todd Hunt. Publik membutuhkan didengar dan dihargai. Ironisnya, pola komunikasi yang dominan adalah monolog, di mana pejabat hanya membela diri saat mengklarifikasi, tanpa ada ruang mendengarkan. Hal ini sama artinya dengan penolakan empati dari masyarakat.
Fenomena ini sebetulnya bukan hanya khas Indonesia. Di Amerika Serikat, istilah political gaffe menggambarkan salah ucap yang merusak legitimasi. Mitt Romney jatuh karena menyebut “47 persen warga” tidak berhak. Di Inggris, komentar pejabat tentang pandemi juga menjadi bumerang politik. Gaffe menunjukkan jarak emosional yang terbuka akibat salah bicara.
Di Indonesia, gaffe pejabat terus berulang. Pola yang sama muncul: rasa empati merosot bersamaan dengan kekuasaan. Padahal, ini mencerminkan sebuah 'gerakan' anti-empati yang semakin luas dan terorganisasi.
Kondisi ini makin kompleks di era informasi yang serba cepat. Manuel Castells menyatakan bahwa informasi beredar lebih cepat daripada lembaga pengendali. Rakyat kini tidak hanya penerima, tetapi juga produsen dan pengendali informasi. Potongan video, komentar, dan laporan publik membentuk narasi yang bahkan lebih kuat daripada klarifikasi resmi, sehingga reputasi pejabat bisa hancur sebelum sidang etik digelar.
Dalam situasi seperti ini, bahasa kekuasaan semakin diuji. Masyarakat menolak jargon panjang dan menuntut kejelasan, kejujuran, serta empati yang sederhana dan meyakinkan. Mereka mengharapkan komunikasi yang mencerminkan kepekaan sosial dan logika masyarakat informasi.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Kasus Tapera dan 11 Perkara Lainnya
Membangun Budaya Komunikasi Baru
Jika pola ini terus berlanjut, solusi bukan hanya memecat individu tertentu, tetapi merombak budaya komunikasi politik. Kita membutuhkan etika baru yang meliputi kedisiplinan bahasa, larangan humor yang menyakitkan, serta aturan moral yang menjaga martabat rakyat.
Pejabat harus belajar mendengar dan memahami konteks sosial, serta merespons kritik secara rendah hati. Komunikasi dalam krisis harus dilihat sebagai kesempatan membangun kembali kepercayaan, bukan sekadar menjaga citra diri.
Selain itu, transparansi harus menjadi bagian dari bahasa moral pejabat. Masyarakat berhak mengetahui laporan kekayaan, sumber pendapatan, dan penggunaan fasilitas negara. Tanpa keterbukaan, setiap ucapan akan dicurigai. Transparansi menjadi sarana penting menurunkan tembok ketidakpercayaan.
Partai politik juga harus konsisten. Pemecatan cepat memang diperlukan, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak reaktif terhadap kasus viral. Etika baru mengharuskan perlakuan yang sama terhadap semua pejabat, terlepas dari pangkat maupun popularitasnya.
Akhrinya, empati menjadi pondasi kekuasaan yang kuat. Pejabat yang tulus peduli akan nasib rakyat akan dihormati. Demokrasi semakin kokoh jika pejabat menyadari bahwa komunikasi adalah cermin moral dan kekuasaan mereka. Dengan berkomunikasi secara empatik, pejabat berpeluang merebut kembali kepercayaan publik.