Mantan Kepala Dinas Kebuadayaan (Kadisbud) Daerah Khusus (DK) Jakarta, Iwan Henry Wardhana usai didakwa merugikan keuangan negara Rp 36.319.045.056,69 (Rp 36,3 miliar) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025) malam.

Hakim Mencecar Mantan Kadisbud DKI soal Uang Rp 3,9 Miliar

1 jam lalu | Alisha Putri | Berita | Berita Nasional

Hakim Rios menegaskan bahwa tindakan mantan Kadisbud DKI terkait uang Rp 3,9 miliar tidak masuk akal. Uang tersebut diduga raib dari proses pengembalian ke negara. Kasus ini bermula dari dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian besar keuangan negara. Terdakwa lainnya menyebabkan kerugian hingga Rp 36,3 miliar. Uang dari anggaran senilai puluhan miliar itu digunakan tidak sesuai. Penanganan kasus ini menyoroti proses pengembalian uang aset negara. Majelis hakim mempertanyakan langkah pengembalian uang tersebut yang dianggap janggal. Dugaan adanya ratusan kegiatan palsu menguatkan temuan kerugian negara besar. Kasus ini menjadi sorotan atas praktik penyalahgunaan anggaran di Disbud DKI Jakarta.

Hakim Rios Rahmanto secara tegas menanyakan mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, terkait uang sebesar Rp 3,9 miliar yang ditinggalkan di sebuah kafe untuk mengatasi kasus korupsi. Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan menyampaikan bahwa tindakan Iwan dinilai tidak masuk akal oleh majelis hakim.

Awalnya, Iwan baru mengetahui adanya dugaan korupsi dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebesar Rp 3,9 miliar yang terjadi di Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Jakarta pada akhir Oktober 2024. Setelah mendapatkan laporan tersebut, Iwan sebagai pimpinan justru mengalami kebingungan dan melibatkan pihak eksternal, salah satunya Toni Bako, mantan Kepala Bidang Industri Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, untuk membantu menyelesaikan permasalahan.

Baca juga: Revisi UU BUMN Dorong Kinerja Lebih Strategis dan Transparan

Proses Pengembalian Uang dan Keterlibatan Pihak Lain

Iwan mengaku, usai mendapat laporan dari kejaksaan, ia berkomunikasi dengan beberapa pihak dan menyimpulkan bahwa ia harus mengembalikan uang tersebut ke negara. Ia pun menegaskan bahwa tidak mau terlibat langsung dalam proses pengembalian uang. “(Pengembalian) jangan pakai tangan saya, Yang Mulia. Kalau pakai tangan saya, nanti seakan-akan saya yang kena. Itu yang saya enggak mau,” ujarnya dalam sidang.

Pada pertemuan di Kafe Tador, Jakarta Selatan, Iwan menugaskan Gatot Arif Rahmadi, pemilik Event Organizer GR-Pro, untuk menyerahkan uang tersebut. Pertemuan yang dihadiri beberapa orang termasuk Toni Bako dan Jeki ini dinilai janggal oleh hakim karena Gatot bukan pegawai Disbud DKI dan tidak memiliki hubungan langsung dengan Kejati DKI. Hakim mempertanyakan alasan dari penyerahan uang tersebut kepada Gatot dan bukan langsung ke kejaksaan.

Iwan beralasan, setelah pertemuan, ia tidak mengetahui posisi uang itu dan meyakini uang telah dipindahkan ke kantor kuasa hukum Gatot. Namun, akhirnya uang diserahkan ke Kantor Tador oleh pemilik kafe kepada Kejati DKI, yang membuat majelis hakim mempertanyakan langkah tersebut. Sebelumnya, Iwan menganggap uang itu sudah menjadi bagian dari tim hukum Gatot dan menyerahkan sepenuhnya proses pengembaliannya.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, hakim menanyakan soal keberadaan uang Rp 3,9 miliar yang seharusnya dikembalikan ke kas negara namun belum sampai di tangan Kejati DKI. Iwan mengaku, uang tersebut tidak pernah diterima resmi oleh kejaksaan dan hingga terakhir kali diketahui, uang tersebut hilang dan raib dari pencarian.

Baca juga: Nadiem Makarim Masih Dirawat Setelah Operasi di Rumah Sakit

Kasus Dugaan Korupsi dan Kerugian Negara

Kasus ini bermula dari dugaan korupsi Rp 3,9 miliar yang menjadi titik awal pengembangan kasus yang menjerat Iwan bersama dua terdakwa lain, yaitu Mohamad Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi. Mereka diduga menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 36,3 miliar. Jaksa menyatakan, selama 2022-2024, Iwan membuat ratusan kegiatan seni palsu untuk pencairan anggaran dari pemerintah provinsi.

Dalam kurun waktu tersebut, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta membayar Rp 38.658.762.470,69 kepada Gatot. Sementara, yang nyata digunakan untuk kegiatan hanya sebesar Rp 8.196.917.258. Selain itu, terdapat pembayaran ke Swakelola di bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta sebesar Rp 6.770.674.200, namun nilai penggunaan riilnya hanya Rp 913.474.356, menyebabkan selisih Rp 5.857.199.844.

Secara keseluruhan, anggaran yang dibayarkan mencapai Rp 45.429.436.670,69, tetapi hanya digunakan secara nyata sebesar Rp 9.110.391.614. Atas perbuatannya, Iwan, Fairza, dan Gatot didakwa melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Tags: Korupsi DKI Jakarta pidana uang negara

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan