Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi mengumumkan penetapan 21 tersangka terkait kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) di Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2019-2022 pada Kamis (2/10/2025).
Keempat orang dari daftar tersebut langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Merah Putih, Jakarta, untuk masa penahanan selama 20 hari ke depan.
Keempat tersangka yang menempati posisi penting adalah Hasanuddin, Jodi Pradana Putra, Sukar, dan Wawan Kristiawan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa setelah serangkaian proses penyelidikan dan penyidikan yang lengkap, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka karena adanya cukup bukti.
Menurut Asep, para tersangka dalam kasus dana hibah Pemprov Jatim terbagi menjadi dua klaster, yaitu pihak penerima suap dan pemberi suap.
Pihak penerima suap terdiri dari Kusnadi, yang merupakan Ketua DPRD Jatim; Achmad Iskandar, Wakil Ketua DPRD Jatim; Anwar Sadad, Wakil Ketua DPRD Jatim yang kini menjadi anggota DPR RI; dan Bagus Wahyudyono, staf dari anggota DPRD.
Sementara itu, sebanyak 17 tersangka lainnya berada dalam klaster pemberi suap, termasuk anggota DPRD dan sejumlah pihak swasta dari berbagai daerah di Jatim seperti Gresik, Sampang, Probolinggo, Tulungagung, dan lainnya.
Baca juga: KPK Periksa Eks Menteri dan Gubernur Terkait Kasus Dana Hibah Jawa Timur
Peran dan Tindakan Tersangka dalam Kasus Hibah
KPK mengungkapkan bahwa keempat tersangka yang ditahan adalah koordinator lapangan (korlap) yang bertanggung jawab mengelola dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas).
Hasanuddin mengelola dana hibah untuk enam daerah di Jatim, termasuk Gresik dan Malang. Jodi Pradana Putra bertugas di Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Tulungagung. Sedangkan Sukar, A Royan, dan Wawan Kristiawan mengurusi dana di Tulungagung.
Menurut ketua tim penyidik, Asep, masing-masing korlap membuat proposal permohonan dana, menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), serta menyusun Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sendiri.
KPK menemukan bahwa para korlap ini memberi ijon terlebih dahulu kepada anggota DPRD agar dana hibah dapat dicairkan ke daerah mereka. Mereka kemudian memberikan sejumlah uang sebagai bagian dari transaksi tersebut.
Kesepakatan pembagian fee antara eks Ketua DPRD Kusnadi dan para korlap terungkap dari temuan KPK, di mana sekitar 15-20 persen dari dana yang disetujui atau sekitar Rp 79,7 miliar diberikan kepada Kusnadi. Korlap menerima 5-10 persen, pengurus pokmas sekitar 2,5 persen, dan admin proposal serta LPJ juga sekitar 2,5 persen.
Sehingga, dana yang benar-benar digunakan untuk program masyarakat hanyalah sekitar 55 hingga 70 persen dari total anggaran awal. Dana hibah tersebut dicairkan melalui rekening di Bank Jatim atas nama kelompok masyarakat yang mengajukan proposal, dan seluruh dana tersebut diambil oleh para korlap.
Para korlap kemudian membagi jatah dana kepada pengurus pokmas dan admin pembuatan LPJ. Dana yang telah disetujui ini sebelumnya sudah diberikan di awal sebagai ijon kepada Kusnadi.
Baca juga: KPK Tetapkan 21 Tersangka Kasus Dana Hibah Jatim
Pengungkapan yang Menguatkan Dugaan Penerimaan Fee
KPK memperkirakan selama periode 2019-2022 Kusnadi menerima fee dari beberapa korlap melalui rekening istrinya dan staf pribadinya. Total uang dalam bentuk tunai yang ia terima mencapai Rp 32,2 miliar, dengan rincian Rp 18,6 miliar dari Jodi Pradana Putra, Rp 11,4 miliar dari Hasanuddin, dan Rp 2,1 miliar dari Sukar, Wawan, dan A Royan.
Atas perbuatannya, keempat tersangka diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menunjukkan bukti nyata praktik perbuatan korupsi yang melibatkan pejabat dan swasta dalam pengelolaan dana hibah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Tags: Hukum Korupsi KPK Dana Hibah Jawa Timur