Revisi terhadap Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah disahkan menjadi undang-undang memberikan kewenangan lebih luas bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus korupsi di lingkungan BUMN.
Perubahan tersebut menghapus ketentuan sebelumnya yang menyatakan bahwa anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan termasuk kategori penyelenggara negara. Dengan demikian, KPK memperoleh kepastian hukum untuk melakukan penindakan dan pencegahan secara lebih efektif di sektor BUMN.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa, “Maka UU tersebut menegaskan kembali keleluasaan dan kepastian hukum bagi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi pada sektor BUMN, baik dalam konteks penindakan maupun pencegahan.”
Budi menambahkan, sebagai bagian dari penyelenggara negara, anggota direksi dan komisaris wajib melaporkan kekayaan mereka melalui LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Ia berharap, langkah ini akan menjadi instrumen pencegahan yang efektif terhadap korupsi.
Dalam konteks penindakan, revisi ini juga menjernihkan batasan kewenangan KPK terkait status pegawai negeri (PN) dari penyelenggara negara tersebut. “Sehingga dengan adanya UU ini menjadi klir,” ujarnya.
Selain itu, Budi menyampaikan bahwa upaya pemberantasan korupsi diarahkan agar BUMN dapat menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) serta menciptakan iklim bisnis yang lebih efisien dan berintegritas. “KPK tentunya terbuka untuk terus melakukan pendampingan dan pengawasan, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya,” ujar dia.
Baca juga: KPK Tetapkan 21 Tersangka Korupsi Dana Hibah Pemprov Jatim
Pengesahan Revisi UU BUMN dan Perubahan Struktur Kementerian
Revisi UU tentang BUMN ini diresmikan melalui pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Dengan disahkannya aturan ini, nomenklatur dan status Kementerian BUMN resmi diubah menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN).
Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Ermarini, menyampaikan bahwa proses penyusunan draf revisi dilakukan secara intensif melalui panitia kerja khusus. Hasilnya, terdapat 12 pasal yang mengalami revisi dalam undang-undang tersebut.
Adapun beberapa poin penting revisi meliputi:
- Pembentukan BP BUMN sebagai lembaga tugas pemerintahan di bidang BUMN.
- Pernyataan kepemilikan saham seri A dwi warna oleh negara pada BP BUMN.
- Pengaturan komposisi saham pada perusahaan induk holding investasi dan operasional BPI Danantara.
- Larangan rangkap jabatan untuk menteri dan wakil menteri sebagai direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN, sesuai Putusan MK Nomor 228/PUU-XXIII/2025.
- Penyempurnaan ketentuan terkait status anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN sebagai penyelenggara negara.
- Penguatan posisi dewan komisaris dalam holding investasi dan operasional agar diisi profesional.
- Peningkatan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pemeriksaan keuangan BUMN.
- Penambahan wewenang BP BUMN dalam mengoptimalkan peran BUMN.
- Penegasan pentingnya kesetaraan gender di posisi direksi, komisaris, dan manajerial BUMN.
- Pengaturan perpajakan atas transaksi yang melibatkan holding maupun pihak ketiga melalui regulasi pemerintah.
- Pengecualian penguasaan BP BUMN terhadap BUMN yang ditetapkan sebagai alat fiskal.
- Skema peralihan status kepegawaian dari Kementerian BUMN ke BP BUMN.
Dengan reformasi ini, diharapkan tata kelola BUMN semakin transparan dan profesional, serta mampu mendukung pembangunan ekonomi nasional secara lebih efektif.