Suasana saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/app/rwa.

Membedah Makna "Wakil Rakyat" dalam Demokrasi Modern

1 jam lalu | Bryan Aditya | Berita | Berita Nasional

Dalam demokrasi, "wakil rakyat" seringkali hanya simbol. Mereka hadir di parlemen, tetapi rakyat yang sesungguhnya terlupakan. Sistem ini mengubah rakyat menjadi angka dan data statistik. Žižek menyoal kemunafikan dalam praktik demokrasi modern. Mereka tampil sebagai aktor yang memainkan naskah, sedangkan rakyat menjadi penonton pasif. Politisi berperan sebagai pelengkap teater politik yang glamour namun kosong. Sistem ini menjaga kekuasaan melalui ilusi dan simbol. Keterlibatan rakyat nyaris tidak pernah nyata dalam pengambilan kebijakan. Demokrasi kini berlaku sebagai ritual estetis, bukan proses nyata menyusun langkah rakyat. Hak rakyat dalam pengaruh politik sering diabaikan, dan dunia politik lebih didominasi oleh kepentingan elit dan oligarki. Kekosongan ini harus diungkap agar demokrasi tidak terus bercondong ke arah teater tanpa isi. Rakyat harus berani menyuarakan haknya dan mengkritik sistem yang hanya berwujud simbol semata.

Dalam sistem demokrasi, istilah "wakil rakyat" biasanya merujuk pada individu yang terpilih melalui pemilihan umum untuk duduk di lembaga legislatif dan menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, serta pengelolaan anggaran. Namun, jika meninjau dari perspektif filosofi yang lebih mendalam, particularly melalui pandangan Slavoj Žižek, keberadaan "wakil rakyat" bukanlah representasi rakyat itu sendiri, melainkan simbol dari kekosongan dan absennya rakyat yang sesungguhnya.

Kata Lincoln bahwa demokrasi adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" hendaknya dipahami sebagai prinsip ideal. Dalam praktiknya, rakyat hanya hadir saat mencoblos, sementara setelah itu suaranya berubah menjadi data statistik atau posisi di kursi kekuasaan. Rakyat nyata—seperti keluhan tentang kelaparan, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan biaya pendidikan—sangat jarang terdengar di ruang di mana kebijakan dan keputusan diambil, sehingga menjadi simbol kedaulatan rakyat yang seakan hanyalah slogan belaka.

Žižek dalam buku "The Sublime Object of Ideology" menjelaskan bahwa ideologi bekerja bukan dengan menutupi realitas, melainkan dengan menata kenyataan sedemikian rupa agar orang tidak mempertanyakan keabsahan struktur tersebut. Ketika istilah "wakil rakyat" digunakan, sebenarnya terkandung kebohongan karena mereka mewakili sekaligus menyingkirkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. Kehadiran mereka di parlemen seperti panggung teater, di mana para aktor memainkan peran yang telah disusun, sementara rakyat di luar hanya menjadi penonton yang tidak benar-benar berperan.

Politis sebagai Pertunjukan dan Fungsi Ideologi

Seperti dipaparkan Walter Benjamin, politik seringkali direduksi menjadi tontonan estetis, terutama dalam momen-momen seperti rapat paripurna atau reses yang lebih berfungsi sebagai ritual simbolik ketimbang wadah substantif membahas nasib rakyat. Kehadiran rakyat di ruang fisik, seperti demonstrasi atau aksi protes, justru dianggap gangguan dan diabaikan, sedangkan keberadaan mereka sebagai pemilih lebih dihargai sebagai data statistik.

Paradoks ini menegaskan bahwa sistem demokrasi perwakilan bekerja sebagai mekanisme pengendali yang mengatur "keramaian rakyat" agar tetap diam dan tidak mengganggu kekuasaan. Žižek menyebut ini sebagai fungsi ideologi yang tidak sekadar menipu, tetapi juga membuat masyarakat merasa cukup meskipun yang sesungguhnya kosong dan abstrak.

Baca juga: Sidang Perdana Kasus Korupsi minyak Pertamina Digelar Pekan Depan

Simbol dan Fantasi dalam Politik

Kursi di DPR merupakan simbol kekuasaan yang kuat, meskipun kenyataannya sering diisi oleh mereka yang terlibat korupsi, politik uang, atau pewarisan dinasti politik. Simbol tersebut bekerja berdasarkan fantasi yang dibangun masyarakat, yaitu kepercayaan terhadap janji pembangunan, perubahan, dan kesejahteraan yang disampaikan para wakil rakyat. Ketika janji-janji itu sirna, yang tersisa hanyalah kekosongan, dan wakil rakyat berperan sebagai cermin kosong yang berbicara tanpa makna.

Žižek menegaskan bahwa bahaya terbesar dari demokrasi kontemporer bukanlah kembalinya tirani, tetapi demokrasi yang kosong secara substansi. Sistem ini memperlihatkan prosedur tanpa makna, di mana rakyat hanya menjadi penonton tanpa hak nyata dalam pengambilan keputusan. Sistem ini menjaga kekosongan melalui mekanisme yang tampak formal, namun sejatinya mengaburkan keberadaan rakyat yang sesungguhnya.

Baca juga: Gus Irfan Temui KPK Bahas Pencegahan Korupsi Haji

Kedaulatan Rakyat dan Realitas Praktis

Konstitusi menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Tetapi kenyataannya, kekuasaan lebih dipengaruhi oleh elit politik, mekanisme partai, dan kepentingan oligarki yang berlangsung di balik layar. Rakyat hanya berfungsi sebagai legitimasi, yang dipanggil saat dibutuhkan dan dilupakan setelah itu, mengurangi mereka menjadi simbol yang tidak nyata di balik kekuasaan.

Filsuf Žižek sering mengingatkan bahwa tugas utama filsafat adalah membongkar ilusi dan menyadarkan masyarakat bahwa norma yang selama ini dianggap benar adalah konstruksi yang tersusun rapi. Mengkritik "wakil rakyat yang mewakili kekosongan" berarti membangun kesadaran bahwa demokrasi yang ada saat ini harus dipertanyakan dan diperbaiki, agar rakyat benar-benar hadir dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai simbol semata. Kebohongan sistem ini harus diungkap, dan masyarakat diajak untuk berani menolak peran sebagai penonton yang pasif.

Tags: politik demokrasi filosofi Žižek kedaulatan rakyat

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan