Bayangkan suara seperti menuang susu ke atas Rice Krispies—itulah suara yang dihasilkan oleh udang snapping, yang memiliki satu capit besar dan satu kecil. Mereka sangat kecil dan hidup di dalam karang.
Seperti yang dijelaskan pemandu snorkeling saya, Lisa D’Silva, dia tiba-tiba menunduk kembali ke bawah air seperti bebek, sementara saya mengikuti langkahnya. Suara burung yang berputar di atas kepala menjadi terdengar lebih lembut dan mata saya memandang dasar laut.
Walaupun udang-udang ini tetap tersembunyi, pemandangan yang sangat jelas terlihat adalah permadani terumbu karang di bawah dermaga desa Yenbuba. Bibir kerang raksasa berwarna hijau tua yang sebesar manusia jongkok bergetar dan menutup diri saat kami melintasi, menyebabkan getaran lembut di perairan dangkal. Hutan terumbu staghorn bermahkota seperti cabang pohon dan ladang karang kol seperti kubis yang indah berukir. Mereka dikelilingi koloni ikan bersirip, seperti ikan kelelawar, ikan unicorn, dan ikan kelinci. Saya juga melihat ikan jarum yang kurus dengan moncong tajam, ikan landak berbadan besar dan berduri, serta ikan puffer yang menggelembung dan berpenampilan unik. Ada pula penyu hawksbill — satu sedang merobek karang keras dengan paruh mengaitnya untuk mengungkap spons lembut di dalamnya, berusaha mendapatkan makanannya meskipun sering terbalik hampir vertikal oleh gelombang laut yang berirama.
Pemandangan bawah laut seperti ini terus berulang di Raja Ampat, sebuah wilayah terpencil di Papua Barat bagian timur Indonesia. Dengan sekitar 1.500 pulau yang tersebar di lebih dari 15.000 mil persegi, kawasan ini dikenal sebagai bagian dari Triangle Karang, yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Statistik laut di Raja sangat menakjubkan: sekitar 75% dari seluruh karang dunia ditemukan di sini, sepuluh kali lipat jumlah spesies di Karibia dan lebih banyak dari yang ada di Great Barrier Reef — dan hutan karang ini mendukung lebih dari 1.500 spesies ikan. Beberapa bagian Raja Ampat memiliki 100% tutupan karang di dasar laut. Lebih dari separuh wilayah dilindungi melalui jaringan taman laut (MPAs). Jika Raja adalah pusat dari Triangle Karang, Selat Dampier, tempat saya berada sekarang, adalah inti dari inti tersebut.
Keanekaragaman Hayati Laut yang Mengagumkan
“Ini adalah tempat dengan keanekaragaman hayati laut terpadat di dunia — sejauh yang kita ketahui,” ujar Lynn Lawrance saat memperkenalkan keunikan Raja Ampat pada briefing trip malam sebelumnya. Ia menjelaskan pentingnya terumbu karang bagi populasi ikan dan pengembangan farmasi. Lynn yang berasal dari Australia dan suaminya Arnaud Brival, merupakan pendiri organisasi non-pemerintah lokal, The Sea People, yang fokus pada restorasi terumbu karang di Raja Ampat. Ia mengenakan rompi bermerk Orang Laut, celana cargo, sandal jepit, atau pakaian selam. Kami bersama mereka dalam peluncuran ekspedisi konservasi karang yang diselenggarakan Rascal, operator tur kapal liveaboard yang juga berkomitmen menyelamatkan ekosistem ini.
Dengan kapal berkapasitas lima kabin bernama Rebel, kelompok kecil akan menghabiskan lima hari menjelajahi Raja Ampat dari atas dan bawah air. Selain itu, mereka akan belajar tentang upaya konservasi karang melalui program penanaman kembali (restorasi) yang dilakukan oleh The Sea People. Melalui transplantasi fragmen karang dari situs yang sehat ke yang rusak, mereka berusaha memulihkan ekosistem yang terdegradasi. Salah satu lokasi yang pernah direstorasi adalah Yenbuba, desa yang materai keberhasilannya dilakukan pada 2021.
Saat snorkeling, Lisa, ahli biologi kelautan di kapal, menunjukkan corak karang yang telah dipindahkan ke atas kawat kawat sebagai bagian dari restorasi, kini tampak tumbuh kembali dengan baik. Ia memberi tanda jempol sebagai indikator kondisi karang sehat, dan yang stres dengan jempol ke bawah. Warna cokelat dan kuning yang umum ditemukan berpadu dengan noda putih cerah dan biru neon, tanda adanya pemutihan karang, yang menunjukkan dampak kenaikan suhu laut. Menurut data dari The Sea People, karang di Raja Ampat menunjukkan tingkat ketahanan yang mengejutkan, sehingga transplan dari sini di masa depan dapat membantu menyelamatkan karang di tempat lain di dunia. Di tengah stres yang terjadi, kehidupan dasar laut di sini tampak seperti puisi bergerak: dunia yang begitu hidup dan indah yang membuat saya enggan meninggalkan air dan justru menyadari kerentanannya.
Baca juga: Pegawai Birdwatching Terkejut Temukan Burung Langka di South Shields
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Pemutihan bukan satu-satunya ancaman bagi karang. “Yenbuba adalah lokasi yang cukup banyak tekanan manusia,” jelas Lynn saat kapal kecil kami kembali ke Rebel. Semakin jauh dari Yenbuba, semakin jelas pula betapa rapatnya desa ini diapit oleh karang dan batuan karst. Tebing karst yang curam menjulang di belakang rumah-rumah ber atap logam. Penduduk desa hidup di atas laut, dan meskipun tampak indah, ada dampak yang nyata. Kebiasaan memancing, penambangan karang, dan polusi manusia turut berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem bawah laut.
“Proyek restorasi ini dilakukan selama pandemi COVID-19 dan merupakan yang pertama dikerjakan oleh tim lokal sepenuhnya — tetapi sekarang sudah menjadi hal biasa,” tutur Lynn. Memberdayakan komunitas lokal untuk mengelola konservasi terumbu sendiri adalah misi utama The Sea People; Lynn telah menghabiskan bertahun-tahun mengajari warga desa cara menanam kembali karang dengan sukses dan bekerja sama dengan mereka untuk melindungi habitat laut. “Cita-cita Arnaud dan saya adalah agar restorasi terumbu menjadi pekerjaan dengan gaji tertinggi di kawasan ini,” ujarnya. “Saat ini, pekerjaan paling bergengsi di Raja Ampat adalah menjadi instruktur selam, tetapi sekarang para tukang kebun karang mulai dihormati.”
Many reefs in Raja Ampat sweep right up to the forested shores of the islands. Photograph by Simon Urwin
Salah satu tukang kebun karang itu adalah Cornelia Junfaly Patty — Cori — yang juga mengikuti perjalanan ini. Ketika dia keluar dari penyelaman, tetes air masih menempel di rambutnya yang tebal dan dikepang rapi. Ia adalah salah satu biolog laut asli yang berasal dari desa Yenbekwan. Durinya terpapar sinar matahari saat kami turun dari kapal. Ia menceritakan bahwa dahulu ia tidak mampu membedakan spesies yang dilihat saat snorkeling, sehingga memutuskan untuk belajar biologi laut. “Saya ingin tahu dan belajar tentang laut dari dekat,” katanya sambil tersenyum.
Yenbekwan merupakan salah satu dari banyak desa yang turut serta dalam program konservasi ini. Kawasan Yaf Keru, yang berarti ‘taman karang’ dalam bahasa Biak, merupakan hasil dari usaha masyarakat setempat untuk melestarikan ekosistem laut yang sangat penting ini.
Di dalam air, seni dan keuletan dalam menanam kembali karang terlihat jelas. Divers yang mampu mengontrol buoyancy-nya sendiri bisa mencoba langsung, sementara snorkelers bisa turut berpartisipasi dengan kemampuan dive-dive-nya. Lebih dari 80.000 fragmen telah ditanamkan di Yaf Keru selama hampir sepuluh tahun, menciptakan lanskap bawah laut yang menyerupai hutan raksasa di berbagai tahap pertumbuhan. Saya, sebagai pemula, memilih mengamati dari permukaan dengan snorkel dan fin. Dari posisi ini, saya melihat Cori menggendut di dasar laut, dengan cekatan mengikat fragmen karang ke atas kawat kawat yang menstabilkan dasar yang rusak, seperti menenun benang dalam sebuah permadani besar.
Baca juga: Aktivis Flotilla Humanitarian Gaza Diganggu Drone Serangan
Keajaiban Laut dan Perlindungan Alam
Berkelana di Raja Ampat seperti melayang dalam mimpi, di mana kamar saya dipenuhi kayu halus, jendela besar, dan bantal ber motif daun palem. Saya tertidur setiap malam dengan irama lembut kapal dan suara mesin yang menggeram pelan. Pagi hari bangun dengan keheningan yang lembut dan pemandangan laut yang berbeda setiap hari. Hampir tidak ada kapal lain yang terpantau, dan yang ada pun tampak seperti kapal bajak laut kuno, dengan buritan seperti pedang dan tiang layar tinggi—istilah kapal pinisi tradisional dari Sulawesi Selatan yang masih dibuat secara manual dan bahkan masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Banyak kapal dari pegunungan ini digunakan sebagai kapal selam untuk wisata menyelam di Raja Ampat. Rebel sendiri adalah versi kustom dari kapal kayu pinisi, lengkap dengan dek kayu tertutup, ruang bar kecil ber-AC, dan atap datar untuk menikmati sunset dengan pemandangan 360 derajat.
Meski begitu, panorama dan keindahan Raja Ampat justru menggugah rasa ingin tahu dan petualangan. Setelah kunjungan ke Yenbekwan, kami bangun saat fajar untuk melakukan birdwatching di Waisilip Bay. Berbagai burung seperti kookatoo pohon dan burung laut bertubuh putih bersih terbang di atas kanopi hijau. Sebuah burung cuscus—sejenis marsupial—juga tampak di pohon pandan. Di kejauhan, terdengar panggilan khas burung surga berwarna merah, khas Raja Ampat, dengan bulu yang memukau.
Tiba-tiba, kami menyadari sedang diawasi. Seekor buaya laut dengan moncong berbelang dan mata kuning kecil muncul tepat di depan kapal kami. Meski jarang terlihat di karang, Cori mengatakan bahwa setiap tahun ada kejadian di mana warga terjebak dan mengalami cedera. Hubungan mereka dengan predator ini sangat kompleks dan masih terkait dengan kepercayaan adat. “Dahulu, orang percaya bahwa buaya adalah dewa,” katanya, sambil memperhatikan gerak-geriknya dengan penuh kekaguman. “Mereka juga dipercaya melindungi wilayah ini.”
Keberagaman satwa di Raja Ampat—dari marsupial, burung surga, hingga buaya laut—menunjukkan bagaimana lokasi geografisnya yang berada di sebelah timur Garis Wallace memengaruhi distribusi dan evolusi kehidupan. Garis ini memisahkan biogeografi yang menghubungkan flora dan fauna ke Australia, berbeda dari Asia.
Perjalanan ini membuka mata saya akan kekayaan alam yang begitu asli dan penuh keajaiban, namun juga rentan terhadap berbagai ancaman. Raja Ampat adalah taman surga yang harus terus dilindungi untuk keberlanjutan keanekaragaman hayatinya, agar keindahannya tetap bisa dinikmati generasi mendatang.
The colourful jetty to Yenbekwan welcomes visitors. Photograph by Simon Urwin
Roni Bobo is captain of the ship Rebel, and is descended from Banda Sea pirates. Photograph by Simon Urwin
The dinner table aboard Rebel often features delicacies from the surrounding waters, such as spiced prawns with lime. Photograph by Simon Urwin
Guest rooms are above deck, thanks to removal of the boat's masts. Photograph by Simon Urwin
Rebel is a customised version of a wooden pinisi sailing boat. Photograph by Simon Urwin
Tags: Raja Ampat Karang dan Ikan Konservasi Laut Pelestarian Ekosistem