Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah memeriksa mekanisme pemberian kuota haji tambahan yang diperoleh biro perjalanan haji dari Kementerian Agama, serta adanya indikasi permintaan uang dalam proses tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan seiring kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji untuk tahun 2024.
Dalam pemeriksaan yang dilakukan pada Selasa, KPK memeriksa lima saksi dari berbagai biro perjalanan haji. Mereka adalah Muhammad Rasyid, Direktur Utama PT Saudaraku; RBM Ali Jaelani dari PT Menara Suci Sejahtera; Siti Roobiah Zalfaa dari PT Al-Andalus Nusantara Travel; Zainal Abidin dari PT Andromeda Atria Wisata; dan Affif dari PT Dzikra Az Zumar Wisata. Mereka diperiksa di Polda Jawa Timur terkait proses perolehan kuota tambahan dan dugaan permintaan uang untuk memperoleh kuota tersebut.
Baca juga: Prabowo Wakili Indonesia di Sidang PBB 2025: Fokus Perdamaian dan Ketahanan Nasional
Proses Pengadaan Kuota Haji Tambahan dan Dugaan Penyimpangan
Materi pemeriksaan yang diungkapkan juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa KPK mendalami cara biro perjalanan mendapatkan kuota haji tambahan dari Kementerian Agama serta dugaan adanya permintaan uang dalam proses tersebut. Upaya ini merupakan bagian dari penyelidikan kasus dugaan korupsi yang berkaitan dengan penetapan kuota haji tahun 2024, dimana KPK tengah menyelidiki potensi penyimpangan dalam penyaluran kuota tersebut.
Sebelumnya, KPK juga memanggil lima saksi dari biro perjalanan terkait kasus ini yang berlangsung di lokasi berbeda. Pemeriksaan di Polda Jawa Timur menegaskan fokus KPK terhadap proses distribusi kuota tambahan dan potensi maladministrasi yang terjadi dalam pengelolaannya.
Baca juga: Sidang Kasus Jiwasraya Garap Keuntungan Semu dan Kerugian Negara
Kasus Penyelewengan Kuota Haji 2023-2024
Kasus ini berkaitan dengan dugaan penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota haji tambahan yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama, pada masa Menteri Yaqut Cholil Qoumas, diduga tidak mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 64 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kuota haji khusus seharusnya ditetapkan sebesar 8 persen, dan kuota haji reguler sebesar 92 persen dari total kuota tambahan. Jadi, dari 20.000 kuota tambahan, secara ideal 18.400 kuota harus dialokasikan untuk haji reguler dan 1.600 untuk haji khusus.
Namun, dalam praktiknya, Pemerintah Indonesia diduga tidak mengikuti aturan ini. Menurut Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, kuota tersebut malah dibagi secara tidak sesuai aturan menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Pola pembagian ini berbeda dari ketentuan yang seharusnya, yang semestinya proporsinya adalah sekitar 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Asep menegaskan, tindakan ini menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Jenis Kuota | Jumlah Efektif |
---|---|
Haji Reguler | 18.400 |
Haji Khusus | 1.600 |
Pembagian yang tidak sesuai ini diduga sebagai bagian dari praktik penyelewengan dana dan mekanisme distribusi kuota yang tidak transparan, sehingga berpotensi mencederai integritas pengelolaan haji di Indonesia. KPK berkomitmen untuk terus mendalami kasus ini guna memastikan proses pengajuan dan pemberian kuota haji dilaksanakan sesuai aturan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.