Kritik Pedas untuk Cathy Engelbert di Final WNBA

Kritik Pedas untuk Cathy Engelbert di Final WNBA

1 jam lalu | Rizky Kurniawan | Olahraga | Basket | WNBA

Phoenix Mercury dan Las Vegas Aces bertarung di Final WNBA. Kontroversi kepemimpinan liga memecah perhatian. Akademisi, pemain, dan fans bersuara keras. Hale debat tentang masa depan dan kekuatan bintang.

Perdebatan panas melibatkan Phoenix Mercury dan Las Vegas Aces, dua tim yang tengah bersaing di Final WNBA. Phoenix, yang diperkuat pemain-pemain yang kurang dihargai dan baru pertama kali tampil bersama, mampu menembus final sebagai underdog dengan gaya permainan yang penuh semangat dan keuletan. Mereka mengumpulkan kemenangan dari berbagai pertandingan, membuktikan bahwa kekuatan tim tidak selalu berasal dari nama besar.

Sementara itu, Aces yang diperkuat pemain-pemain kelas dunia seperti A’ja Wilson, Chelsea Gray, Jackie Young, dan Jewell Loyd, menampilkan performa luar biasa. Wilson dan Gray menjadi pemain kunci yang memamwekan berbagai penghargaan seperti MVP, Finals MVP, serta pencetak skor tertinggi. Mereka bahkan mencatat rekor kemenangan tanpa terkalahkan dari 3 Agustus sampai 15 September, menambah keunggulan mereka di puncak klasemen.

Baca juga: Star WNBA Kritisi Kepemimpinan Liga dan Perbaikan Officiating

Ketegangan dan Kontroversi Menuai Sorotan

Namun, perhatian utama bukan hanya soal lapangan. Krisis kepemimpinan di WNBA semakin memanas, setelah insiden yang bermula dari sebuah steal dari Alyssa Thomas, MVP Phoenix Mercury. Thomas merebut bola dari Napheesa Collier dan melakukan layup cepat yang memastikan kemenangan Phoenix di semifinal melawan Minnesota. Play ini memicu kontroversi, karena pada tayangan langsung terlihat play itu bersih, tetapi penggemar Minnesota merasa itu pelanggaran dan mengklaim wasit seharusnya memberi foul.

Collier sendiri mengalami cedera pada play tersebut, dan pelatih Minnesota, Cheryl Reeve, bahkan mengangkat suara keras-keras menuntut evaluasi terhadap kinerja wasit. Tak lama kemudian, Collier melampiaskan kekesalannya terhadap kepala liga, Cathy Engelbert, menyebut bahwa liga memiliki "kepemimpinan terburuk di dunia". Ia menuding pejabat liga mengabaikan keluhan dari pemain dan pelatih tentang ketidakadilan dalam pemberian keputusan wasit, menilai Engelbert dan pejabat lain sebagai "kurang peka dan acuh".

Sementara itu, mantan bintang Phoenix, Sophie Cunningham, menyatakan Engelbert "delusional," dan Elena Delle Donne yang sudah pensiun turut mendukung Collier. Pelajar basket terkenal Caitlin Clark juga menyampaikan bahwa poin-poin Collier sangat valid dan ini adalah momen terbesar dalam sejarah WNBA. Engelbert sendiri menyatakan bahwa ia merasa "kecewa" atas komentar tersebut, tetapi berjanji akan tetap berkomitmen terhadap pemain dan pengembangan permainan.

Stephen A. Smith menilai respons Engelbert sangat lemah dan menyarankan agar ia mengundurkan diri segera. Menyikapi polemik ini, sebagian pihak menilai bahwa kenyataannya, masalah ini tidak salah.

Baca juga: Kritik Pedas Terhadap Komisioner WNBA dari Collier dan Clark

Peran Caitlin Clark dan Masa Depan Liga

Dalam momentum ini, liga dan serikat pemain tengah bersiap melakukan negosiasi baru terkait perjanjian kerja bersama. Pendapatan WNBA melonjak setelah meningkatnya perhatian dari pemain-pemain terkenal seperti Caitlin Clark, Angel Reese, Sabrina Ionescu, dan Wilson, selain keberhasilan meraih medali emas Olimpiade.

Pemain menginginkan bagian yang lebih besar dari hasil pendapatan tersebut. Kritikus lama menyebut bahwa liga ini masih bergantung pada keuntungan NBA, namun potensi ekonomi di bola basket perempuan tidak bisa dianggap remeh. Ionescu berhasil menjual sepatu basket Nike terlaris, yang bahkan menembus penjualan tertinggi secara umum, bukan hanya kategori wanita.

Selain itu, pemain-pemain seperti Wilson, Breanna Stewart, dan Kelsey Plum, semakin banyak memperoleh peluang mendapatkan pendapatan dari endorsement besar. Caitlin Clark, yang meraih sekitar 11 juta dolar dari kontraknya dengan Nike, Gatorade, dan State Farm, disebut-sebut sebagai industri sendiri. Meski mendapatkan sekitar 80.000 dolar dari Indiana Fever, Clark dianggap memberi dampak ekonomi besar karena perhatian yang dia tarik ke liga, bahkan diperkirakan bernilai miliaran dolar bagi WNBA.

Di balik itu semua, para pemain juga memiliki opsi lain. Seperti ketika liga ini dibentuk pasca Olimpiade 1996, beberapa pemain sempat memilih bergabung dengan liga internasional yang menawarkan penghasilan lebih baik, seperti Diana Taurasi yang pernah absen dari WNBA selama musim 2015 demi membela klub Rusia yang membayar lebih tinggi. Ada pula liga 3x3 wanita domestik "Unrivaled" yang menawarkan gaji rata-rata sekitar 200.000 dolar, mendekati batas maksimum WNBA sekitar 250.000 dolar. Bahkan, NBA legendaris Ice Cube menawarkan Clark sekitar 15 juta dolar untuk satu musim di liga Big3, walaupun Clark menolaknya.

Namun, hubungan WNBA dan pemain sangat saling membutuhkan. Jika para bintang besar memilih jalan lain, penonton pun akan berkurang. Sebaliknya, jika bintang-bintang tersebut pergi, pemain lapis bawah yang sangat bergantung pada liga akan terdampak. Situasi ini memaksa pengambil kebijakan dan pemimpin liga, termasuk Cathy Engelbert, untuk segera menemukan solusi demi menjaga keberlangsungan dan daya saing liga ini. Kritik keras terhadap kepemimpinan saat ini mengisyaratkan bahwa mungkin saatnya pergantian orang untuk memimpin WNBA ke depan.

Dengan segala dinamika ini, pertandingan Final WNBA pun tetap menarik untuk diikuti. Phoenix Mercury diyakini akan menghadapi tantangan berat dari Las Vegas Aces. Tapi jika ada tim yang mampu keluar dari tekanan ini dengan kemenangan, itu adalah Phoenix, yang dikenal dengan ketangguhannya di tengah segala kontroversi dan tantangan.

Tags: WNBA Final WNBA Kepemimpinan Liga Kontroversi Pekerjaan Sejarah Basket Perempuan

Artikel Terkait
Berita
Olahraga
Hiburan